Sudah lama sekali sejak Amerika Serikat tidak bisa menjadi polisi tunggal dunia. Dan akhirnya saat itu pun tiba. Pengimbangnya, siapa lagi kalau bukan turunan musuh lama, Uni Soviet dulu. Sekarang menjelma menjadi Rusia.
Butuh waktu yang sangat lama memang bagi Rusia untuk bisa kembali "setara" dengan AS, pasca runtuhnya Uni Soviet. Tapi akhirnya moment itu tiba. Rusia tidak lagi mau dibodoh-bodohi AS dan sekutunya yang tergabung ke dalam NATO. Puncaknya, mereka menyerbu Ukraina. Menyerbu dalam artian yang sebenarnya, bukan sekedar seperti mengambil alih Krimea. Kali ini kebih dari itu, mereka menuju Kiev.
Bagi pakar intelijen, mungkin serangan Rusia ke Ukraina ini sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari. Atau mungkin juga tidak. Namun eskalasi tindak-tanduk Ukraina kepada NATO lah, yang membuat semua anggapan bahwa Rusia akan diam ketika adik kecil mereka bergabung ke NATO buyar seketika.
Mungkin juga tidak banyak yang mengira Putin akan semarah itu. Dan memerintahkan operasi militer, sampai menyiagakan hulu ledak nuklir kepada status tertinggi. Namun ledakan Putin kali ini seperti menghentak banyak pihak. Terutama dari aliansi NATO.
Jika operasi militer ke Ukraina ini sudah diperhitungkan dengan matang, maka kemungkinan mereka untuk berhasil sangat besar. Dan Putin terkenal sebagai orang yang berhitung dengan baik. Artinya ia sudah punya beberapa skenario sebelum memutuskan menyerbu, dan juga sudah memperhitungkan kemampuan counter strike dari pihak musuh. Baik secara langsung, atau melalui NATO.
Demiliterisasi Ukraina adalah salah satu misi yang harus dicapai Rusia. Penggulingan kekuasaan juga. Tapi melihat target-target serangan pasukan Rusia, maka misi pertama sepertinya mayoritas berjalan sesuai harapan Rusia. Menggulingkan Zelensky mungkin akan lebih berat, mengingat dia sepertinya dijadikan proxy oleh AS.
Namun satu hal yang bisa diambil dari kengerian perang Rusia-Ukraina ini, setidaknya bahwa saat ini AS tidak bisa menunjukan kekuasaan tunggalnya secara semena-mena seperti yang sudah ditunjukan selama puluhan tahun. Setidaknya sejak era perang dingin berakhir. Sanksi-sanksi yang diberikan kepada Rusia membuka mata dunia atas standar ganda "barat". Bahkan sanksi-sanksi yang dijatuhkan tidak berhubungan langsung dengan politik ataupun perang.
FIFA mendiskualifikasi timnas dan klub sepakbola rusia dari setiap turnamen. Nikita Mazepin harus menerima pembatalan kontraknya sebagai pembalap F1 dari Haas Racing Team. Bahkan kucing Rusia pun ditolak untuk mengikuti kompetisi. Di satu sisi hal ini menunjukan AS dan sekutu adalah pemilik dunia. Namun, ketika pendulum itu berbalik, semua kekuasaan sekutu yang dipertontonkan dengan semena-mena ini akan menjadi bahan bakar yang massif ketika timbul pergerakan balik yang menentang hegemoni yang tidak pada tempatnya itu.
Tidak ada atlet atau klub israel, yang dikeluarkan dari olimpiade, atau pertandingan FIFA. Tidak ada atletnya yang menerima pembatalan kontrak. Walaupun sudah 70 tahun lebih melakukan kejahatan kemanusiaan. Hal yang sama juga berlaku dengan atlet AS atau klub AS, yang militer mereka sudah menghancurkan Irak, Libya dan Afghanistan, tanpa alasan yang bisa diterima orang paling dungu sekalipun.
Wajar jika Artem Zyuba (kapten Timnas sepakbola Rusia) tidak mengutuk aksi militer Rusia di Ukraina, karena ketika hal yang sama dilakukan AS atau israel, tidak berdampak apa-apa. Kondisi ini akan mengakselerasi kemuakan penduduk dunia kepada AS dan sekutunya. Dan mungkin bisa diingat, tidak semua negara Eropa barat merasa aman di ketiak AS. Mereka tidak bodoh.
Jauh dalam hati nurani dan pemikiran mereka yang paling dalam, mereka tahu bahwa mereka dan AS sudah menunjukan ketidakadilan yang parah.