Lihat ke Halaman Asli

tommy tindo

mahasiswa

Batasan Penggunaan AI bagi Akademisi

Diperbarui: 8 November 2024   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Ebizmark

Teknologi diciptakan sejatinya untuk memudahkan pekerjaan yang dilakukan manusia. Mulai dari pekerjaan sehari-hari seperti menyapu lantai, menyalakan dan meredupkan cahaya lampu, hingga hiburan seperti memutar musik dan film, manusia mendapat bantuan dengan penggunaan teknologi advance. Contohnya adalah robot sederhana seperti Amazon Alexa yang dapat membantu manusia mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang remeh-temeh seperti menghidupkan dan mematikan lampu, memesan belanjaan di website Amazon, memutar musik dan memainkan film di tv, hanya dengan perintah suara.

Dengan semakin advance-nya penciptaan teknologi masa kini, penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial inteligence (AI) semakin marak di masyarakat tak terkecuali di kalangan akademisi. Sangat sering dijumpai saat ini pelajar, mahasiswa dan bahkan dosen yang menggunakan kecerdasan buatan dengan model bahasa seperti Chat GPT, dalam menyelesaikan tugas-tugas akademisnya. Misalnya, mahasiswa menggunakan chat gpt untuk menjawab pertanyaan kuis. Atau dosen menggunakan chat gpt untuk membuat soal ujian. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah penggunaan AI seperti ini adalah etis bagi para akademisi yang memiliki tanggung jawab moril dan etika untuk menjaga kualitas ilmu dan integritas akademik mereka. Tulisan ini mencoba untuk menguak jawaban atas pertanyaan ini.

ETIKA PENGGUNAAN AI DI KALANGAN AKADEMISI

Integritas dan kejujuran ada dua hal yang menjadi pegangan utama dalam penggunaan AI untuk penyelesaian tugas dan pekerjaan akademisi. Menurut Floridi dan Cowls (2019), penggunaan AI harus sesuai dengan prinsip etika yang melingkupi transparansi, keadilan dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Secara ideal, penggunaan AI untuk membantu penyelesaian tugas akademisi dilakukan dalam kerangka alat bantu pemahaman dan pengembangan argumen, namun tidak sebagai alat untuk melakukan penelitian original maupun alat untuk menciptakan argumen kritis. Akademisi harus mampu menciptakan argumen dan pemahaman yang berasal dari pemikirannya sendiri sebagai seorang insan manusia yang memiliki akal budi. AI hanya sebagai alat bantu untuk mempertajam dan mengembangkan sayap-sayap argumen yang sekiranya perlu untuk ditambah atau diperbaiki. Penggunaan AI secara tidak etis, seperti menyalin teks secara langsung tanpa pemahaman, berisiko menurunkan kualitas karya ilmiah dan mencederai integritas akademis.

Kecenderungan penggunaan AI di kalangan akademisi adalah mengandalkan secara berlebihan tanpa dibarengi oleh cek dan ricek atas informasi yang di-generate oleh AI. Bostrom dan Yudkowsky (2014) menyatakan bahwa informasi yang dihasilkan oleh AI dapat memberikan kesan yang logis namun belum tentu akurat dan konstekstual. Query yang dimasukkan untuk men-generate informasi yang diinginkan oleh user belum tentu sesuai dengan apa yang pahami oleh mesin AI maupun oleh si peng-input query tersebut. Konteks yang dimaksud oleh peng-input melalui query yang dimasukkan dapat terbaca lain dan dimaknai lain oleh mesin AI sehingga muncul misinformasi. Apabila user tidak memahami topik atau materi yang informasinya sedang dibutuhkan, maka hasil yang akan digunakan oleh user dimaknai sebagai kebenaran padahal telah terjadi kesalahan yang sangat fatal dalam segi konteks dan pemahaman. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi ilmu pengetahuan.

Hal lain yang juga perlu perhatian adalah kesahihan atau originalitas karya tulisan. Dengan menggunakan AI, berarti akademisi melenyapkan idealisme sebagai seorang akademis karena tulisan yang dihasilkan bukan karya orisinal sang akademis. Dengan kata lain, karya tersebut termasuk dalam kategori plagiat karena dihasilkan oleh mesin pintar dan kemudian di-copy-paste. Sehingga tidak memenuhi standar ilmiah dan tidak sahih.

Sebagai seorang mahasiswa, penulis juga tidak terlepas dari penggunaan AI untuk membantu dalam mengerjakan tugas-tugas kemahasiswaan. Hal ini tidak terhindarkan karena teknologi bukan untuk dihindari namun untuk digunakan sebaik-baiknya demi mendukung penyelesaian pekerjaan sehari-hari. Menghindari penggunaan teknologi secara sengaja justru dapat merugikan diri sendiri karena akan ketinggalan dalam akselerasi pengembangan  dan wawasan diri. Namun demikian, sebagai mahasiswa, sebaiknya paham dan aware akan batasan-batasan dalam penggunaan AI. Sebagai contoh, untuk menyelesaikan tugas berupa pertanyaan esai, penulis menggunakan AI untuk mencari bahan-bahan rujukan dan referensi yang dibutuhkan sesuai dengan topik yang dipertanyakan dalam pertanyaan esai tersebut. Penulis kemudian memadukan dan memahami konteks dari referensi dan rujukan yang diberikan oleh AI untuk kemudian menuliskan apa yang penulis pahami sesuai dengan konteks untuk menjawab pertanyaan esai.

Contoh lain penggunaan AI yang bertanggung jawab sebagai seorang mahasiswa adalah dalam kerangka pemahaman suatu konteks tertentu. Apabila seorang mahasiswa tidak memahami suatu teori atau suatu topik tertentu, maka mahasiswa dapat bertanya kepada chat gpt untuk diterangkan secara sederhana mengenai topik yang dimaksud. Dengan cara ini, diharapkan mahasiswa dapat lebih memahami apa yang sedang mereka pelajari.

Contoh buruk penggunaan AI bagi mahasiswa, misalnya memasukkan pertanyaan ujian ke chat gpt dan meng-copy-paste seluruh jawaban yang diberikan oleh chat gpt ke dalam lembar jawaban. Contoh buruk lainnya adalah dengan mencari jawaban dari chat gpt atas hal apapun tanpa memahami konteks teori dan topiknya, lalu menyajikan jawaban tersebut secara verbatim tanpa menggali lebih dalam isi jawaban sehingga mahasiswa tetap tidak memahami apa topik dan konteks yang sedang dibicarakan.

LITERASI DIGITAL PENGGUNAAN AI BAGI AKADEMISI

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline