Lihat ke Halaman Asli

Tommy Jomecho

Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Corona Membuka Mata Kita, Kalau Kita Ini Negara Miskin

Diperbarui: 14 Mei 2020   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kita ini miskin. Harus akui itu. Gak bisa ditutup-tutupi. Buktinya, kita gak kuat berlama-lama 100% di rumah aja. Rakyat gak bisa makan kalau di rumah aja. Sementara, negara gak bisa kasih makan. Gak ada duit.

Mau andalin bansos? Gak bisa. Bansos itu duit. Duit kita dikit. Gak kuat kas negara kalau mesti ngasih bansos terus-terusan. Bisa jebol. Apalagi yang merasa berhak, makin hari makin membludak jumlahnya.

Contoh aja nih, kebijakan pemkot di sini. Tahap awal pembagian bansos, semua dikasih. Tanpa pandang bulu. Kaya miskin semua dapat beras dan mie (rasmie). Luar biasa. Camkoha.

Nah, tahap berikutnya kebijakan diubah. Gak semua warga dapat bansos lagi. Pemkot mulai selektif. Yang dapat rasmie cuma yang layak dan benar-benar terdampak saja. Apa artinya? Jelas, ini sinyal duit menipis. Di sisi lain, gak ada yang tau kapan wabah ini berakhir.

Jangan pula kita bandingkan dgn Jepang atau Singapura yang ketahanan finansialnya bagus dan teruji. Itu mah negara sultan. Majunya beneran. Bukan maju-majuan. Kita belum bisa manyamai level keuangan mereka. Meski kita mendapat pengakuan sebagai negara maju oleh Amerika. Bahkan, salah satu negara dengan PDB US$ 1 Triliun. Tapi, itu semua seakan tak ada apa-apanya setelah corona menyerang. Semua kelimpungan. Masalahnya 1: gak ada duit. Loh katanya maju, kok gak ada duit? Embuh.

Sekarang, kita diminta berdamai dengan corona. Yah tadi, agar aktivitas ekonomi bisa berangsur jalan lagi. Agar tanggungan negara gak makin membengkak. Agar persoalan keuangan gak makin memburuk. Kalo pun utang, yah gak perlu banyak-banyak. Kalo pun cetak uang, yah bisa dengan seminimalis mungkin.

Tantangannya adalah ketika kelonggaran diberikan, sementara grafik jumlah korban corona belum juga melandai apalagi turun, maka rakyat dihadapkan dengan perjudian antara mati karena corona atau mati kelaparan di rumah aja.

Apakah negara sudah memikirkan soal simalakama ini? Pastinya sudah. Makanya diminta berdamai. Berdamai: kata yang indah memang. Enak didengar. Bijak. Tapi berdamai dengan virus? Saya benar-benar bingung maksudnya apa. Mungkin ada yang percaya, ketika kita terbiasa, berteman lama, maka nanti akan ada perdamaian dengan virus. Ini mungkin mirip: tak kenal maka tak sayang. Kalo nanti sudah kenal, kita akan saling menyayangi untuk kemudian menciptakan kedamaian itu. Entahlah..

Namun demikian, dalam nasihat yang saya baca. Tak seharusnya kita mencoba peruntungan melawan wabah. Pasalnya, akan sulit menang. Justru akan beresiko. Tapi dengan sejumlah persoalan, utamanya soal perut, maka nasihat apa yang bisa bikin kenyang?

Selanjutnya, bola panas ada pada masing-masing rakyat. Sebab negara sudah "menyerah". Bukannya ngasih makan atau ngasih duit, malah minta duit: iuran PLN dikeluhkan naik, harga BBM gak turun-turun, eh iuran BPJS mau naik juga. Belum lagi suguhan kebijakan-kebijakan yang kontradiktif antarlembaga, antarpemimpin. Makin membuat kita pusing tujuh keliling.  Ya sudah. Mungkin memang satu-satunya solusi: berdamai dengan corona.

Apapun itu, saat wabah ini berakhir nanti. Mari introspeksi. Terutama soal sebutan negara maju. Biar kita gak lupa. Gak terlena. Biar kita bisa berbenah dengan serius untuk benar-benar menjadi negara maju. Negara yang punya ketahanan finansial yang bagus, ketahanan pangan yang kuat, dan kesolidan antarpemimpin dan rakyatnya. Bukan negara yang dipenuhi koruptor, "aktor", atau negara yang dinahkodai pemimpin kaleng-kaleng.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline