Lihat ke Halaman Asli

Sakazakii, Kode Etik, Intrik dan Politik

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13298389781488205736

Ilustrasi : google image

Enam tahun sudah sejak penelitian ilmiah ini selesai di publikasikan, polemik terus bermunculan.. Ya, sakazakii sejenis bakteri enterobacter yang terkandung dalam susu formula. Kali ini sesuai dengan berita yang dilansir detik.com (Lagi, Hakim Perintahkan Nama Susu Formula Berbakteri Dibuka, 21/2/12) kasus ini kembali mencuat.. Agar pandangan kita lebih jelas memahami kasus ini, tiada salahnya saya paparkan kembali resume perjalanan kisahnya yang disarikan dari beberapa sumber.

Awalnya, riset ini dilakukan oleh ahli Mikrobiologi Kedokteran Hewan IPB yakni Dr. Sri Estuningsi. Beliau mendapat dana penelitian berupa Dana Hibah Bersaing. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan isolasi terhadap bakteri Enterobacter sakazakii.. Bakteri ini sebenarnya sudah ditemukan sejak tahun 1958, namun belum diketahui tingkat keganasannya. Susu (terlebih susu formula) berpotensi sebagai habitat sakazakii karena mengandung protein yang tinggi. Dr. Estu kemudian mencoba melakukan penelitian lebih terhadap bakteri ini, sampai dilakukan di Jerman karena tidak adanya fasilitas di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui 5 dari 22 produk susu yang diteliti ternyata mengandung bakteri tersebut. Bakteri tersebut kemudian diujicobakan pada seekor mencit dalam dosis yang cukup tinggi, ternyata bakteri ini menyerang jaringan otak.

Setelah diketahui efek dari bakteri ini, Dr. Estu segera mengumumkan pada pihak-pihak terkait adanya bakteri E. Sakazakii dalam susu formula dan akibatnya. Beliau sudah banyak mempublish dalam pertemuan atau seminar ilmiah. Namun ada seorang menteri pada waktu itu (sekitar tahun 2008) yang menganggap remeh hasil temuan itu. Beliau mengatakan itu karena penelitian ini dilakukan oleh seorang dokter hewan. Depkes dan BPOM pun tidak dapat melakukan tindakan, karena hingga tahun 2008, belum ada peraturan terkait kontaminasi bakteri E. sakazakii ini di Indonesia.

Kemudian dilakukan seminar internasional FAO yang mengundang seluruh ahli dari berbagai belahan dunia, dan Dr. Estu mewakili Asia dalam seminar tersebut. Akhirnya ditetapkan dalam keamanan standar pangan internasional, bahwa susu harus terbebas dari kontaminasi E. sakazakii. Dengan dikeluarkannya ketetapan ini, pada tahun 2008 dilakukan teguran bagi seluruh produsen susu untuk memperbaiki kinerja produksinya sehingga seluruh produk susu wajib terbebas dari kontaminan bakteri E. sakazakii. Dan pada tahun yang sama pula, BPOM melakukan uji pada 96 merk susu dan hasil seluruh pengujian adalah NEGATIF alias tidak lagi ditemukan ada kontaminasi E. sakazakii pada produk susu.

Selang beberapa waktu kemudian, muncullah seseorang yang bernama David L. Tobing yang memiliki 2 orang anak, menuntut agar kelima produk yang diindikasikan tercemar bakteri E. sakazakii berdasarkan penelitian Dr. Estu pada tahun 2006 agar dipublikasikan. Awalnya David menuntut atas nama masyarakat Indonesia, lalu berubah kemudian dia menuntut atas nama kedua anaknya karena anak-anaknya mengonsumsi susu. Padahal hingga saat ini kedua anaknya baik-baik saja. Adanya penuntutan ini kemudian diliput oleh media. Media menyatakan bahwa apabila ini tidak diumumkan maka akan meresahkan warga. Distorsi media inilah yang menjadi salah satu faktor dalam mencuatnya kasus ini, sehingga banyak masyarakat yang hanya mengetahui kasus ini dari segi kepentingan publik semata, tidak melihat bagaimana seharusnya publikasi ilmiah itu diterima.

Pak Rektor menambahkan tentang dosis pengujian pada mencit. Dosis yang diberikan pada mencit adalah dosis yang dilakukan terus menerus dalam takaran tinggi, hingga akhirnya diindikasikan menyerang jaringan otak. Sementara seandainya terdapat bakteri ini dalam susu formula yang kita konsumsi, dosis nya tidak akan setinggi dosis yang diberikan pada mencit. Beliau mengatakan, “Dan saya kira, bayi-bayi Indonesia bukanlah bayi tikus, sehingga masih aman.” Dan pada kenyataannya, hingga saat ini remaja seukuran kita yang dulu mengonsumsi susu atau masih pada saat ini, hingga saat ini belum ditemukan adanya kasus penyakit akibat bakteri ini.

Beliau menambahkan. “IPB, selaku institusi pendidikan tinggi, sangat menjunjung tinggi kode etik penelitian. IPB tidak dipengaruhi oleh otoritas apapun, termasuk otoritas pemerintah maupun industri. “Kita patuh pada hukum, namun kita harus terus menjunjung tinggi etika penelitian. Saya tidak pernah ditekan oleh menteri. Dan kalaupun ada menteri yang menekan saya, saya akan bilang tidak. Terlalu murah jika IPB dibeli oleh pihak-pihak yang mementingkan kepentingan sendiri. IPB akan mengumumkan jika memang masyarakat sudah dalam kondisi yang berbahaya atau darurat, sekalipun itu melanggar aturan. Hingga saat ini belum ditemukan adanya kasus akibat kontaminasi E. sakazakii, dan sejak tahun 2008 seluruh merk susu telah dinyatakan negatif oleh BPOM”.

Kini, kasus ini akan segera booming lagi, hakim memerintahkan pemerintah untuk membuka nama-nama susu formula berbakteri. Hal ini dinyatakan saat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak perlawanan Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Begitu juga dengan perlawanan kampus-kampus lain ditanah air yang mendukung IPB seperti USU, Unand, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Hasanuddin (Unhas). Pada awalnya ini merupakan publikasi ilmiah biasa, namun bergeser mulai dari persoalan hukum , kepentingan golongan, bahkan kepentingan politik semata. Ada beberapa pihak yang menggunakan kesempatan ini untuk menjadi terkenal dalam panggung perpolitikan semata.

Dari paparan ini, tergambar sudah bagaimana mudahnya di negeri ini menggiring opini publik. Dengan slogan hak azazi manusia, kepentingan umum dan lain sebagainya bisa dengan mudah menggugurkan kebenaran untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Padahal seharusnya masih banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan selain dari isu-isu yang terkembang dari distorsi media semata.

Melalui kasus ini juga, ada beberapa karakter yang saya lihat. Pertama, karakter yang memperjuangkan kode etik penelitian, mereka tetap kokoh atas nama kebenaran dan hak intelektual. Kedua, kelompok yang bermain melalui distorsi, mereka bekerja melalui pengembangan isu untuk seterusnya melemparkannya ke publik, menurut saya pengaruh dan kekuasaan sebenarnya ada ditangan mereka. Ketiga, adalah kelompok yang memanfaatkan isu untuk tujuan tertentu, ini lebih condong pada politik dan pencitraan. Sedangkan karakter keempat adalah kelompok kebanyakan. Mereka adalah konsumen yang menelan bulat-bulat setiap informasi, kelompok ini sangat mudah diarahkan, baik karena keterbatasan informasi ataupun pembatasan informasi secara sengaja...

Dari beberapa karakter atau kelompok ini, kita bisa afiliasikan pada berbagai kondisi dan realita bangsa yang terjadi saat ini. Kali ini kita benar-benar harus bertanya pada hati nurani, karena ada banyak hal yang harus diperbaiki dan diteliti.. “Pandanglah dan jelaskan dengan kasih sayang, mungkin “mereka” belum mengetahui dan memahami. Bangsa ini memerlukan edukasi moral dan etika yang kini makin langka…..”, (Rektor IPB dalam Lokakarya Kemahasiswaan).

Dokumentasi : Laman web resmi IPB (ipb.ac.id), Laman web resmi BPOM (www.pom.go.id), BEM Fema IPB, detik.com, Kompas.com, Catatan Septian suhandono.dll

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline