Lihat ke Halaman Asli

Politik sebagai Dualitas Kepentingan: Tinjauan Filsafat Politik dari Plato hingga Habermas

Diperbarui: 19 November 2023   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Politik berkaitan dengan pengaturan, pengelolaan, dan pembagian kekuasaan, sumber daya, dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Politik juga menyangkut hubungan antara individu, kelompok, dan negara dalam mencapai tujuan-tujuan bersama. Namun, politik tidak selalu harmonis dan damai. Politik sering kali menimbulkan konflik, persaingan, dan pertentangan antara berbagai kepentingan yang saling bertabrakan.

Kepentingan adalah sesuatu yang dianggap penting, berguna, atau menguntungkan oleh seseorang atau kelompok. Kepentingan bisa bersifat materiil, seperti uang, jabatan, atau kekayaan, atau bersifat immateriil, seperti kehormatan, keadilan, atau kebenaran. Kepentingan bisa bersifat individual, kolektif, atau universal. Kepentingan bisa bersifat rasional, emosional, atau ideologis. Kepentingan bisa bersifat jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang.

Politik sebagai dualitas kepentingan berarti bahwa politik memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Kepentingan pribadi adalah kepentingan yang hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompok tertentu tanpa memperhatikan kepentingan orang lain atau masyarakat secara keseluruhan. Kepentingan publik adalah kepentingan yang menguntungkan semua orang atau masyarakat secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan atau mendiskriminasikan siapa pun. Politik sebagai dualitas kepentingan menunjukkan bahwa politik selalu menghadapi dilema antara egoisme dan altruisme, antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab.

Filsafat politik adalah cabang filsafat yang mempelajari asal-usul, hakikat, tujuan, dan prinsip-prinsip politik. Filsafat politik juga mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang politik, seperti apa yang membuat suatu pemerintahan sah, bagaimana hubungan antara penguasa dan rakyat, apa yang menjadi dasar keadilan dan moralitas dalam politik, bagaimana cara mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, dan sebagainya. Filsafat politik juga berusaha memberikan panduan, kritik, dan alternatif terhadap praktik-praktik politik yang ada.

Dalam sejarah pemikiran manusia, banyak filsuf yang telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan filsafat politik. Di antara mereka, ada tiga tokoh yang dianggap sebagai perwakilan dari tiga periode penting dalam filsafat politik, yaitu Plato, John Locke, dan Jurgen Habermas. Plato adalah filsuf Yunani kuno yang hidup pada abad ke-4 SM. Ia adalah murid dari Sokrates dan guru dari Aristoteles. Ia dikenal sebagai pendiri Akademi, sekolah filsafat tertua di dunia. Ia juga menulis banyak karya, yang paling terkenal adalah Republik, yang membahas tentang negara ideal yang dipimpin oleh filsuf. John Locke adalah filsuf Inggris yang hidup pada abad ke-17 M. Ia adalah salah satu tokoh utama dari empirisme, aliran filsafat yang mengutamakan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Ia juga dikenal sebagai bapak dari liberalisme, aliran politik yang menghargai kebebasan, hak asasi, dan kedaulatan rakyat. Ia menulis banyak karya, yang paling terkenal adalah Dua Risalah tentang Pemerintahan, yang membahas tentang hak alamiah manusia, kontrak sosial, dan pemisahan kekuasaan. Jurgen Habermas adalah filsuf Jerman yang hidup pada abad ke-20 dan 21 M. Ia adalah salah satu tokoh utama dari teori kritis, aliran filsafat yang mengkritisi hubungan sosial yang tidak adil dan menindas. Ia juga dikenal sebagai pencetus dari teori tindak komunikatif, teori yang menganggap bahwa komunikasi rasional adalah dasar dari tindakan sosial dan politik. Ia menulis banyak karya, yang paling terkenal adalah Teori Tindak Komunikatif, yang membahas tentang rasionalitas, etika, dan demokrasi deliberatif.

Plato, Locke, dan Habermas memiliki pandangan yang berbeda tentang politik sebagai dualitas kepentingan. Plato cenderung mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. Ia berpendapat bahwa negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh filsuf, yaitu orang-orang yang mencintai kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Filsuf adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tertinggi tentang ide-ide, yaitu bentuk-bentuk abstrak yang menjadi dasar dari segala sesuatu yang ada. Filsuf juga memiliki kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan, yaitu empat kebajikan utama yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Plato berpendapat bahwa kepentingan pribadi harus dikendalikan dan disesuaikan dengan kepentingan publik. Ia mengusulkan adanya pembagian kelas dalam masyarakat, yaitu kelas penjaga, kelas prajurit, dan kelas produsen. Kelas penjaga adalah kelas yang berisi filsuf yang bertugas sebagai penguasa. Kelas prajurit adalah kelas yang berisi orang-orang yang berani dan setia yang bertugas sebagai pelindung. Kelas produsen adalah kelas yang berisi orang-orang yang bekerja sebagai petani, pengrajin, pedagang, dan sebagainya. Plato berpendapat bahwa setiap kelas harus menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai dengan kemampuan dan bakatnya. Ia juga berpendapat bahwa setiap kelas harus hidup sederhana dan tidak mengejar kekayaan, kesenangan, atau kekuasaan. Ia juga melarang adanya kepemilikan pribadi, perkawinan, dan keluarga bagi kelas penjaga dan prajurit, agar mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi dan tetap setia kepada negara.

Locke cenderung mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan publik. Ia berpendapat bahwa manusia memiliki hak alamiah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, yaitu hak hidup, hak kebebasan, dan hak memiliki properti. Ia berpendapat bahwa manusia pada awalnya hidup dalam keadaan alam, yaitu keadaan tanpa pemerintah, hukum, atau otoritas. Dalam keadaan alam, manusia hidup bebas dan merdeka, tetapi juga rentan terhadap konflik, ketidakadilan, dan ketidakamanan. Oleh karena itu, manusia membuat kontrak sosial, yaitu perjanjian untuk membentuk suatu pemerintahan yang berdasarkan pada persetujuan bersama. Tujuan dari pemerintahan adalah untuk melindungi hak-hak alamiah manusia dari ancaman orang lain. Pemerintahan harus didasarkan pada prinsip konsensus, representasi, dan pemisahan kekuasaan. Pemerintahan harus mendapatkan mandat dari rakyat, harus mewakili kepentingan rakyat, dan harus membagi kekuasaan menjadi tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Locke berpendapat bahwa kepentingan publik harus menghormati dan mengakui kepentingan pribadi. Ia juga mengusulkan adanya sistem ekonomi yang berdasarkan pada hak milik pribadi, pasar bebas, dan persaingan sehat. Ia berpendapat bahwa sistem ekonomi ini akan mendorong produktivitas, inovasi, dan kesejahteraan bagi semua orang.

Habermas cenderung mencari keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Ia berpendapat bahwa manusia adalah makhluk komunikatif, yaitu makhluk yang mampu berbicara, mendengar, dan memahami satu sama lain. Ia berpendapat bahwa komunikasi rasional adalah komunikasi yang didasarkan pada argumen, bukti, dan logika, bukan pada kekuasaan, manipulasi, atau emosi. Ia berpendapat bahwa komunikasi rasional adalah dasar dari tindakan sosial dan politik yang adil, demokratis, dan partisipatif. Ia berpendapat bahwa tindakan komunikatif adalah tindakan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang saling mengakui dan menghormati kepentingan, nilai, dan pandangan masing-masing. Ia berpendapat bahwa tindakan komunikatif adalah tindakan yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan, konsensus, atau pemahaman bersama. Ia berpendapat bahwa tindakan komunikatif adalah tindakan yang memenuhi empat syarat, yaitu kebenaran, kejujuran, keterbukaan, dan normativitas. Ia berpendapat bahwa tindakan komunikatif adalah tindakan yang menghasilkan etika diskursus, yaitu etika yang berdasarkan pada dialog, kritik, dan rasionalitas.

Habermas berpendapat bahwa kepentingan pribadi dan kepentingan publik harus diselaraskan melalui proses komunikasi rasional. Ia mengusulkan adanya ruang publik, yaitu ruang sosial yang terbuka bagi semua orang untuk berpartisipasi dalam diskusi, debat, dan deliberasi tentang masalah-masalah publik. Ia mengusulkan adanya demokrasi deliberatif, yaitu bentuk demokrasi yang mengutamakan proses pengambilan keputusan yang melibatkan partisipasi, dialog, dan konsensus dari semua pihak yang terkait. Ia mengusulkan adanya hukum dan konstitusi yang mengakomodasi keberagaman, pluralisme, dan hak asasi manusia. Ia mengusulkan adanya sistem sosial yang berorientasi pada solidaritas, inklusi, dan keadilan.

Studi Kasus Terhadap Fenomena di Indonesia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline