Lihat ke Halaman Asli

Sedikit Tentang Konsep Rahmatan Lil Alamin

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir-akhir ini kian ramai dibincangkan radikalisme agama, yang  tak sejalan dengan  konsep Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (#RLA).

Mari kita simak kembali salah satu pesan Jalaludin Rumi, bagaimana menegakkan ajaran agama Islam. Rumi berpesan agar kita dapat menegakkan ajaran Islam seperti menyuarakan azan; bisa indah, bisa buruk karena memekikkan telinga. Kita dapat menampilkan Islam yang lembut dan merdu, bisa pula yang keras dan menakutkan. Patut diingat, cara kita mengamalkan ajaran Islam akan memengaruhi sikap orang lain terhadap Islam.

Dalam ruang publik dan peradaban yang semakin kompleks serta terbuka, sangat dimungkinkan terjadi benturan antarperadaban. Hal itu apabila etika interaksi dan penghargaan terhadap nilai kemanusiaan serta nilai-nilai lain yang melekat pada suatu kelompok diabaikan.

ISIS yang  sudah jadi game changer geopolitik global dan Je Suis Charlie sebagai respon atas teror terhadap Charlie Hebdo beberapa waktu lalu adalah contohnya. Hal itu tak lain adalah contoh nyata adanya benturan ekstremitas peradaban karena lemahnya etika interaksi dan penghargaan terhadap nilai kemanusiaan.

Konsep rahmatan lil alamin #RLA (QS 21: 107) yang mengedepankan kerahmatan bagi semua bukanlah konsep lokalistik-utopis. #RLA adalah konsep universal yang sudah terbukti dan teruji melalui Piagam Madinah sebagai bentuk operasionalnya. Saat Piagam Madinah dideklarasikan pada abad ke-7, umat Islam hanya 15%dari populasi penduduk Madinah yang mayoritas Yahudi dan Nasrani. Oleh karena hak dasar dan nilai kemanusiaan universal dijunjung tinggi,serta lintas ikatan primordialisme, pihak mayoritas pun setuju dan menerima piagam tersebut.

Konsep #RLA dilanjutkan Wali Songo saat menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad ke-14-an atau 7 abad setelah zaman Rasulullah. Sunan Ampel, Sunan Kalijogo, dan Sunan Kudus pernah membahas model komunikasi keagamaan saat itu. Mereka membahas komunikasi keagamaan yang tetap menghormati tradisi, adat istiadat, dan budaya saat itu. Dialog itu menggambarkan Wali Songo menghargai serta menjaga tradisi sepanjang tidak bertentangan secara esensial dengan prinsip tauhid.

Kini saatnya setelah 7 abad era Wali Songo, kita mereaktualisasi dan memobilisasi pemahaman kolektif tentang pentingnya konsep. Pengejawantahannya mengedepankan pendekatan kultural. Dengan  demikian, pembudayaan jadi pilihan dalam prosesnya. Tentu, pengejawantahannya juga harus memahami serta mempertimbangkan karakteristik masyarakat digital saat ini.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Mohammad NuhDosen Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Penulis Buku Menyemai Kreator Peradaban

Sumber: https://www.selasar.com/budaya/sedikit-tentang-konsep-rahmatan-lil-alamin




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline