Kehidupan perempuan dalam dua budaya yakni Minang dan Banten memiliki persamaan dalam melindungi wanita. Budaya Minangkabau sangat melindungi perempuan dan menjungjung tinggi derajat wanita dengan budaya matrilinealnya.
Begitu pula dengan budaya tabu perempuan Banten yang menunjukan bahwa adat sangat melindungi dan menjaga wanita. Perlindungan terhadap wanita merupakan bentuk kesadaran budaya Indonesia menyadari kelemahan wanita yang harus dilindungi oleh adat.
Adat merupakan aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Arti lain dari adat yakni cara atau kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan atau dapat pula diartikan sebagai wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya yang berkaitan menjadi suatu sistem.
Pewarisan adat dari generasi ke generasi merupakan suatu hal yang mendasari bahwa aturan adat tidak akan pernah terputus bagai mata rantai yang terus terhubung dari masa ke masa sampai sekarang. Adat istiadat di Indonesia banyak sekali yang menunjukan kepeduliannya terhadap perempuan. Salah-satunya kebudayaan dari masayarakat Minangkabau dan Banten.
Perlindungan dan menjaga wanita agar bisa hidup dengan senang dan sejahtera telah mendeskripsikan bentuk kepedulian adat yang amat menjaga kehidupan wanita di dunia ini.
Budaya Matrilineal
Budaya Matrilineal bisa kita temui dari berbagai novel-novel asal Minang. Salah-satunya novel legendaris karya Buya HAMKA yakni Tenggealamanya Kapal Van Der Wijkc. Novel ini telah mendeskripsikan budaya matrilineal wanita Minang. Novel ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang anak muda bernama Zainuddin.
Zainuddin merupakan keturunan Pandekar Sutan dari negeri Padang. Zainuddin tidak dianggap memiliki darah keturunan Padang, melainkan berdarah Bugis Makassar, tempat ia dilahirkan, sebab ayah Zainuddin tidak beristri dengan orang yang berasal dari suku yang sama.
Di negeri Padang, Zainuddin bertemu dengan seorang gadis Batipuh yang bernama Hayati. Zainuddin dan Hayati menjalin cinta, namun cinta antara Zainuddin dan Hayati ditentang keras oleh keluarga Hayati yang merupakan kepala adat di Batipuh, Keluarga hayati tidak menyetujui hubungan mereka sebab Zainuddin merupakan seorang anak pisang.
Zainuddin tidak dapat menikahi Hayati lantaran Hayati keturunan bangsawan asli dari negeri Padang. Hayati dinikahkan oleh keluarganya dengan Azis dari Padang Panjang. Pernikahan tersebut membuat Zainuddin kecewa dengan adat yang tetap kokoh di desa Batipuh, yang tidak dapat mengkhendaki keinginan Zainuddin untuk beristri Hayati. Zainuddin pun bertekad merubah hidupnya dan pergi merantau ke Batavia (Jakarta) dan ia menjadi orang sukses disana.
Dari penggalan cerita di atas, terlihat kekokohan budaya Minangkabau di desa Batipuh yang digambarkan pengarang dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Budaya Minangkabau adalah budaya yang bersifat keibuan (matrilineal), dengan harta dan tanah diwariskan dari ibu kepada anak perempuan, sementara urusan agama dan politik merupakan urusan kaum laki-laki (walaupun setengah wanita turut memainkan peranan penting dalam bidang tersebut).