Lihat ke Halaman Asli

Toleo

Penulis Puisi

Kliwon

Diperbarui: 10 Oktober 2023   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Seperti biasanya, malam sebelum suara adzan terdengar dan ketika cahaya terakhir tampak memulas mega senja dengan warna jingga, aku sudah mulai diajaknya mulai bersiap. Ia membawa bungkusannya dan menungguku didepan rumah sambil menyalakan rokoknya yang ia buat sendiri dari kulit jagung yang kami sebut dengan "klobot". Rokok dihisapnya dalam-dalam dan sebentar ia keluarkan asapnya dengan perasaan puas. Asap yang ia tiupkan sangat banyak, karna ia menambahkan kemenyan pada lintingannya yang membuat aroma rokoknya lebih harum dan mengeluarkan asap lebih banyak dari rokok biasa. Ia bernama kliwon, dan aku memanggilnya buyut yakni kakek dari ibuku. Entahlah tampaknya usia tak mampu melemahkan semangatnya untuk tetap berkerja, dan malam ini seperti malam-malam sebelumnya ia mengajakku untuk menemaninya menunggui ladang.

Aku memandangnya untuk beberapa lama dan aku perhatikan dengan seksama cara ia menikmati rokok tingwe-nya. Dan seperti biasanya, ia hanya mengenakan celana kolor hitam dengan tali bersimpul besar tepat dibawah perutnya yang membuncit juga berwarna gelap seperti kolornya. Rupanya ia baru sadar kalau aku sudah disampingnya, "kau sudah siap?" tanyanya. Aku mengangguk, dan ia mulai berdiri merapikan sarung yang ia lingkarkan antara pundak dan perutnya.

Kami berjalan beriringan melintasi semak-semak yang menutupi jalan setapak menuju ke ladang. Di ladang ada jagung-jagung muda, singkong dan sayuran yang harus kami tunggu setiap malamnya, karna jika tidak babi hutan atau orang desa kami menyebutnya "celeng" akan menghabiskannya. Celeng sering datang dalam jumlah besar pada malam hari dari hutan sebelah selatan desa kami dan menyerang tanaman penduduk.

Setelah berkali-kali membelok dari jalan setapak, sampailah kami pada sebuah turunan yang mengarah pada sebuah sungai. Dari sini gemericik aliran sungai sudah terdengar jelas. Apalagi kalau suasana hening tak ada angin yang menggetarkan dahan dan daun-daun, maka suara itu pasti lebih jelas lagi. Akhirnya kami sudah sampai pada tepian sungai tersebut tepat di ujung sebuah titian bambu yang dibuat buyut beberapa bulan yang lalu. Setelah melewatinya dan naik sedikit ke tanggul sungai kami telah sampai di ladangnya.

Aku duduk mencanggung di sebuah pematang yang agak tinggi di antara tanaman jagung dan menunggunya berkeliling sekali mengitari ladangnya.

Sebentar saja ia sudah selesai mengelilingi ladangnya, tampak di bawah remang cahaya bulan sosok hitam tubuhnya yang gemuk dengan ciri berjalan yang khas darinya. Ia menuju ke arahku dan beberapa langkah kemudian ia membelok tepat di bawah pohon "kluweh" atau di sebut juga dengan nama "cuet" . Kluweh atau cuet ini adalah tanaman sayur, yakni buahnya yang belum tua. Anatomi buah cuet ini mirip sekali dengan buah nangka, tapi hanya sebesar buah sukun. Batangnya Pun mirip sekali dengan pohon sukun tapi daunnya tak lebih lebar dari daun sukun dan bunganya juga lebih kecil dari bunga sukun.

"Sun... kemari lah, bantu buyut mengumpulkan ranting-ranting ini" terdengar suaranya memanggilku. Kemudian aku bangkit dari duduk dan bergegas menyusulnya dengan sedikit berlari. Seperti biasanya, setiap malam kami selalu membuat api dari ranting-ranting kering yang jatuh yang kami kumpulkan, dan seperti biasanya kami menaruh singkong didalam bara api tersebut.

Setelah ranting-ranting yang kami butuhkan telah cukup terkumpul aku menatanya diatas tumpukan daun-daun kering yang ku kumpulkan, dan ia segera menuju lahan singkong yang tak jauh dari kami. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sedompol singkong yang batangnya sudah dipatahkan sebatas pokolnya.

"Sudah siap Sun?" tanyanya memastikan pekerjaanku menyiapkan perapian. Aku mengangguk memberikan isyarat kepadanya. Kemudian ia menaruh sedompol singkong yang dibawanya diatas tumpukan ranting yang aku tata tadi dan menimbunnya kembali dengan sebagian ranting yang ku sisakan. Setelah itu ia merogoh saku kolornya dan mengeluarkan bungkusan plastik kecil dan mengeluarkan sebuah pemantik api dari dalamnya dan menyulutkan api di bagian bawah tumpukan tepat di bagian daun-daun kering tadi. Karna angin belum berhembus kencang, jadi ia dengan mudah dapat menyalakan perapian, dan sebentar saja api sudah membakar hampir semua ranting-ranting itu. Kemudian ia mengambil bungkusan kecil tadi dan mengeluarkan selembar klobot dan sedikit tembakau jawa yang ia taruh diatasnya. Tak lupa ia menambahkan cengkeh rajangan dan sedikit kemenyan. Setelah itu ia linting diantara kedua telapak tangannya kemudian ia letakkan rokok klobot tersebut di antara bibirnya dan menyulutnya.

Cukup lama kami menantikan matangnya singkong bakar. Bulan sudah lewat dan agak condong sedikit ke barat, udara pun mulai dingin, angin bertiup kencang membuat suara keras diantara pucuk-pucuk bambu yang saling bertabrakan. Singkong yang ia pendam di dalam bara api mulai tercium harumnya. Ia mengoreknya dan mengambil sebuah, dipatahkan tengahnya dan diberikannya padaku. Aku agak berjingkat memegangnya karna panas, ku tiup-tiup sebentar dan dengan tergesa kumasukkan ke dalam mulut.

"Minumlah, sebentar lagi saatnya", katanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline