Sekolah insinyur tertua di Indonesia usianya genap 100 tahun pada 3 Juli ini. Ya, Institut Teknologi Bandung (ITB) berulang tahun 1 abad. Di usia pendidikan tinggi teknik yang seabad itu, Indonesia masih berkutat dengan problem keinsinyuran yang pelik.
Pertama, Indonesia memang kekurangan insinyur. Indonesia diperkirakan kekurangan 280 ribu tenaga insinyur, menurut Wakil Ketua Umum PII, Heru Dewanto.
Sedangkan menurut Menristek, Pak Bambang Brodjonegoro, ada sekitar 750 ribu orang yang bergelar insinyur, namun dari jumlah tersebut hanya ada 9 ribu orang yang bekerja sesuai bidang keilmuannya.
Kedua, kualitas insinyur kita memang belum bagus. Indonesia memang punya figur-figur keren seperti Pak Syarif sang pembuat ventilator atau Bu Arvilla perancang jembatan LRT melengkung terpanjang. Namun fenomena umumnya memang kualitas insinyur kita masih "ecek-ecek".
Di komunitas akademik, jurnal dan karya ilmiah dalam bidang teknik sering hanya mengulang-ulang metode yang sudah umum. Hanya beda kasus saja. Tidak cukup punya kebaruan.
Pada beberapa kesempatan, penulis malah menemukan banyak paper yang levelnya hanya "pekerjaan rumah", bahkan beberapa salah metode, dan salah hitung. Karya ilmiah banyak ditulis oleh murid dosen-dosen teknik, yang kebanyakan belum berpengalaman, baik dalam substansi maupun soal tata penulisan.
Konferensi banyak diadakan, ribuan jurnal tiap tahun diterbitkan. Dosen-dosen didorong supaya bikin banyak paper. Tapi itu terkadang semacam formalitas, supaya tunjangan kinerja tetap aman, paling tidak bagi beberapa kampus.
Di dunia industri, pekerjaan konsultansi teknik rata-rata berkualitas rendah. Laporan dibuat panjang, namun isinya hanya 'angin'. Hanya tebal di "Gambaran Umum Wilayah" atau "Lampiran". Sedangkan pemilik pekerjaan, dinas, atau kementerian, rata-rata tidak cukup bermutu dan berdedikasi untuk bisa 'menguliti' konsultan.
Beberapa lulusan teknik punya SKA, tapi sering skillnya abal-abal. Pengalamannya mungkin lima tahun lebih, tapi sering belepotan ketika berforum dengan pemilik pekerjaan.
Di satu sisi, dalam banyak proyek prestisius, pengerjaannya masih sering mengandalkan konsultan asing. Insinyur dalam negeri masih dipandang sebelah mata.
Proyek LRT, ibu kota baru, Pelabuhan Patimban, kilang baru Pertamina, hanya sedikit contoh. Di lingkungan BUMN, proyek-proyek njelimet sudah biasa dipegang sama konsultan impor.