Rancangan UU Migas, yang sejak 2010 masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI, hingga kini masih belum bisa diundangkan. Merupakan sebuah 'prestasi' yang fenomenal, mengingat sudah tiga kali kursi DPR berganti 'pantat' namun tidak didapati terbitnya UU Migas yang baru, yang menggantikan UU Migas nomor 22 tahun 2001. Padahal, posisi UU tersebut sangatlah vital.
Kepala divisi teknologi SKK Migas, Benny Lubiantara menilai bahwa kepastian hukum adalah faktor penting dalam meningkatkan daya tarik investasi migas[1]. Harapannya, jika UU tersebut bisa goal, tata kelola migas kita bisa segera diperbaiki.
Soal kepastian hukum ini memang sangat fatal. Penelitian Fraser Institute yang berasal dari Kanada yang bertajuk "Global Petroleum Survey 2017" didapati hasil bahwa Indonesia menempati posisi 92 dari 97 negara soal iklim investasi migas.
Indonesia tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia di posisi 57, Brunei (40), Thailand (36), dan Vietnam (61)[2]. Ketidakpastian hukum dan sistem perpajakan yang rumit dituding menjadi biang keladi buruknya investasi di bidang migas.
Namun kinerja anggota dewan masih belum dapat diharapkan. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) memberi raport merah pada DPR periode 2014-2019. Pasalnya, banyak rancangan undang-undang (RUU) yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) namun tidak goal pada periode tersebut.
Sedangkan menurut perhitungan Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Veri Junaidi, dalam 5 tahun terakhir DPR, hanya menyelesaikan 22,63 persen RUU yang sudah dimasukkan dalam prolegnas[3].
UU Migas sudah beberapa kali mengalami pembatalan pasal dan revisi oleh Mahkamah Konstitusi. Banyak pengamat memandang bahwa UU tersebut belum sesuai kepentingan bangsa. Berbagai pembahasan telah dilakukan, melibatkan anggota dewan, menteri, tenaga ahli, pengamat, ormas, dan bejibun pemangku kepentingan.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa revisi UU Migas sangat lambat meskipun berulang kali masuk ke Prolegnas. Dia berujar bahwa karena banyak kepentingan drafnya pun berganti-ganti[4].
Salah satu poin utama dan yang paling menyedot energi adalah soal pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas, yakni badan yang menjadi pemegang kuasa pertambangan yang akan menggantikan posisi SKK Migas saat ini.
BUK tersebut akan menandatangani kontrak-kontrak Production Sharing Contract (PSC) dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sekaligus melakukan usaha hulu migas.
Yang membuat pembahasan menjadi rumit adalah posisi BUK Migas, apakah berada di bawah koordinasi presiden atau di bawah kementerian BUMN.