Saya cukup beruntung bisa menyaksikan dinamika kebijakan pengembangan perkebunan. Mulai sejak era proyek PIR di era orang tua saya. Lalu masuk pada pengembangan perkebunan dengan dana terbatas pada awal reformasi, yang pada saat bersamaan hak-hak masyarakat memilih komoditas yang akan dikembangkannya dilindungi negara. Kemudian masuk era "bagi-bagi bibit, pupuk dan sarana lainnya" pada masa Presiden SBY.
Lalu kebijakan pemerintah berubah dengan fokus pada tanaman pangan pada awal periode kepemimpinan Presiden Jokowi, lalu menyisahkan sedikut dana menangani komoditas perkebunan yang berbarengan dengan meleburnya atau tepatnya raibnya Dinas Perkebunan di sejumlah Provinsi. Kemudian kebijakan berubah pemerintah mendadak ingin mengakselerasi penyediaan benih perkebunan.
Namun yang menarik, dinamika tersebut membuat saya akhirnya menemukan sebuah pemahaman mendasar, sebuah path. Bahwa pengembangan perkebunan itu harus bersandar pada pasar, kemitraan dan konsistensi pembinaan agar dapat sustainable.
Kita bisa menyaksikan bagaimana perkebunan kelapa sawit, karet yang ditumbuhkan pada era PRPTE dan menjadi sumber pendapatan masyarakat selama puluhan tahun, terpuruk saat ini. Beberapa komoditas seperti cengkeh dan lada juga mengalami penurunan. Sehingga wajar jika para pekebunpun lalu berteriak menyalahkan pemerintah.
Tapi kondisi di atas tidak lepas dari fakta yang bahwa hingga saat ini Indonesia masih mengandalkan ekspor bahan mentah untuk komoditas perkebunan. Sehingga harga yang notabene ditentukan harga dunia dapat tiba-tiba terjun payung, dan ironisnya kita sebagai produsen utama seolah tidak berdaya menghadapinya. Sementara pemerintah fokus pada perluasan dan pertambahan areal serta peningkatan produksi yang menjadi indikator kinerja.
Saat Presiden Jokowi menegaskan pentingnya membangkitkan kejayaan rempah nasional maka diterjemahkan ke dalam program pengembangan besar-besaran untuk pala, lada dan cengkeh. Padahal faktanya, 8 tahun lalu harga lada masih di atas Rp. 100 ribu per kg, namun pengembangan yang masif hingga ke Sulawesi membuat harga lada saat ini hanya sekitar Rp. 40 ribu per kg. Cengkehpun demikian 8 tahun lalu harga juga di atas Rp. 100 ribu per kg, namun saat ini stabil dikisaran Rp. 60.000/kg.
Mari kita lihat apa yang terjadi pada komoditas yang pengembangannya tidak semasif komoditas lain. Sebutnya saja tembakau dan tebu. Saya pikir petani relatif sejahtera. Tidak banyak gejolak untuk komoditas tersebut. Namun untuk kelapa sawit, sesungguhnya sebelum terjadinya penurunan harga dampak dari ekspor CPO yang terhambat karena adanya black campign Eropa dan perang dagang Cina dengan AS, menjadi salah satu komoditas yang paling mengutungkan.
Apa yang sebenarnya terjadi pada ketiga komoditas tersebut. Jawabannya adalah kemitraan. Untuk kelapa sawit , tebu dan tembakau kemitraan menjadi spirit. Dimana terbangun hubungan langsung antara industri pengolahan dengan pekebun. Berbeda dengan komoditas lainnya.
Namun mengapa tembakau dan tebu menjadi lebih tahan terhadap gejolak ekonomi global dibandingkan kelapa sawit? Jawabannya sederhana karena pasar dari produk akhir komoditas tersebut diserap oleh pasar dalam negeri. Tembakau sebagian besar digunakan untuk memproduksi rokok yang dipasarkan di Indonesia. Begitu juga tebu, gula yang dihasilkan oleh industry juga diserap oleh pasar lokal. Sementara untuk lada, pala, kopi, kakao sebagian besar diekspor dalam bentuk barang mentah.
Jadi dari kondisi di atas saya harus mengatakan bahwa mindset pengembangan perkebunan harus bicara dari strategi pasar. Pengembangan komoditas harus berawal dari target pasar mana yang akan dieksplorasi dan sebaiknya juga berorientasi memenangkan pasar dalam negeri. Pengembangan perkebunan harus dirancang melalui penumbuhan industri pengolahan, dan bukan sebaliknya. Lalu hubungan petani dengan industri dikembangkan dalam konteks kemitraan, yang diatur melalui regulasi.
Ketika pasar sudah jelas, kemitraan telah terbangun barulah konsep pengembangan perkebunan dapat dirancang untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan market, yang berpangkal pada pilihan paket bantuan yang akan diberikan. Saat Anda ingin memenangkan pasar organik kopi Eropa maka Anda harus memiliki masterplan dimana perkebunan organik akan dikembangkan, perusahaan apa yang akan menjadi mitra, seperti bibit yang akam diberikan masyarakat, bagaimana pupuknya dan sarana lainnya untuk mendukung produksi produk organik?