Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Sipayung

Seorang konsultan di bidang pertanian

Ketika CEO Perusahaan Menjadi Pejabat dan Mereka Menangis?

Diperbarui: 20 Mei 2018   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini ada banyak pengusaha atau pimpinan perusahaan yang mendadak menjadi pejabat negara atau  birokrat di pemerintah. Namun dalam banyak kejadian, orang-orang yang hebat ketika mengelola perusahaan mendadak jadi mati gaya ketika menjadi pemimpin di pemerintahan. Mengapa?

Suatu kali saya bertemu dengan seorang pimpinan daerah yang berasal dari kalangan pengusaha. Dulu setahu saya ia adalah orang yang sangat optimis dan percaya bahwa ia bisa melakukan "banyak hal". Tapi, sekarang saya melihat " banyak", lebih banyak areal lempang di kepalanya yang tidak lagi tertutupi rambut, lebih banyak kerutan di dahi, lebih banyak kantung mata. Ada apa gerangan?

"Pusing kali pun mengurusi negaramu ini", komentarnya pedas. Saya mendengar hanya tersenyum datar dengan wajah menunjukkan empati yang sedikit basa basi.

Okelah, pertanyaannya mengapa orang seperti sahabat saya maupun banyak pemimpin daerah dari kalangan pengusaha seringkali gagal mewujudkan mimpi-mimpinya yang kadang setinggi daya jelajah pesawat Garuda?

Mari kita bayangkan habitat dari seorang pengusaha sukses. Ia mengelola perusahaan miliknya sendiri. Orang-orang yang terpilih terseleksi dengan baik. Sistem terbangun sehingga jika ia mengatakan A, maka manajer, supervisior bahkan hingga tingkat cleaning service akan mengatakan A juga. Ketika ada yang mbalelo, maka mudah mengatasinya. Segera di PHK dengan penuh rasa hormat.

Lalu apa yang terjadi ketika seorang pengusaha menjadi pemimpin daerah atau pejabat tinggi negara? Setidaknya ia memiliki kemudahan. Pertama, ia mendapatkan gaji, bonus dan fasilitas apapun tanpa ia harus mendapatkan profit yang besar di tahun sebelumnya. Entah target yang ia tetapkan tercapai atau tidak, gaji  tidak akan dipotong. Kedua, ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan gaji bawahannya, termasuk THR saat menjelang lebaran. Ketiga, ia nggak perlu berpikir keras mengumpulkan uang untuk mendukung kegiatannya. Semua sudah disediakan pemerintah.

Tentunya bebannya lebih ringan dong? Mungkin dari sisi kesejahteraan dirinya dan staf, ya. Namun ketika adalah seorang yang punya mimpi indah yang ingin ia wujudkan di republik tercinta ini maka persoalannya menjadi lebih menggelitik.

Ketika ia mengatakan A, maka yang terjadi di kalangan bawah akan menterjemahkan A +, A ++ yang lebih cilaka ada yang menafsirkan ++ saja tanpa A.  Ketika seorang CEO melakukan kunjungan lapangan tidak ada namanya direktur, manajer di anak perusahaan yang tidak hadir. Semua menunggu sang bos dengan telaten dan menyambutnya bak raja. Tapi ketika seorang menteri datang ke sebuah Kabupaten jangan kaget jika Bupati hanya mengirimkan wakilnya, atau seorang kepala dinas. Ketika ditanya kenapa tidak datang. "Mohon maaf pak Menteri, bupati kami adalah tugas penting di Jakarta (tepatnya di kawasan Mangga Besar", jelasnya.

Saat Direktur di sebuah perusahaan negara memerintah anak buahnya melakukan A semua manggut. Lalu pada kesempatan yang lain mereka berbisik-bisik, "Ihh, itukan kan melanggar ketentuan. Takut ah. Jangan kerjakan, eneng nggak mau", komentar pegawai wanita kecematan yang cantik dengan suara sedikit mendesah.

Nah, jika setiap segenap perusahaan bekerja untuk tujuan yang sama yakni mengejar profit. Maka segenap karyawan di birokasi pemerintah bekerja untuk menegakkan aturan. Apa itu? Untuk mensejahterakan masyarakat? Melayani bangsa Indonesia dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia? Tidak juga, kata salah seorang pengawai sambil tersenyum malu. Kami bekerja untuk menegakkan aturan. Jangan melakukan korupsi, nepotisme dan merugikan negara! Hindari kerja salah prosedur! Jangan lakukan sesuatu yang tidak aman karena akan merugikan negara!

Sehingga dalam banyak kondisi itu berarti do nothing kadang pilihan yang paling pasAyolah percepat pecairan anggaran untuk dana miskin. "Aduh takutnya bahaya kalau cepat-cepat", kata seorang pejabat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline