Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Sipayung

Seorang konsultan di bidang pertanian

Mitos Tentang Petani

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KENDALI-SULTRA BERMIMPI. Dalam beberapa diskusi dengan para aparat pemerintah maupun pengamat pertanian, saya sering mendengar komentar miring, pertanian Indonesia tidak sejahtera karena petani tidak paham budidaya, tidak mau memupuk, kebun tidak dirawat baik. Apa iya?

Saya kadang harus mengatakan bahwa hal itu merupakan mitos jika kita menyelami lebih dalam problema petani.

Bahwa merawat kebun, membeli pupuk tentu membutuhkan biaya. Tanpa sadar petani, melalui pengalamannya, belajar tentang payoff. Ketika ia mengeluarkan biaya untuk pemupukan yang “cukup mahal” maka petani berharap mendapatkan kembalian sebanding. Misalnya penambahan 1% pupuk diharapkan berdampak peningkatkan produksi 50 persen.

Hanya petani sering tidak memperoleh payoff (imbalan) yang sepadan terhadap pengeluarannya untuk pupuk. Misalnya, saat ia membeli pupuk, untuk kasus petani kakao, harga harga biji kakao Rp. 17.000,- jika tanpa pemupukan ia bisa mendapatkan produksi 100 kg dan jika dipupuk menjadi 150 kg. Maka logikanya si petani akan mendapatkan penambahan penghasilan Rp. 850.000 ( Rp. 2.550.000-1.700.000). Jika pengeluaran untuk pupuk Rp. 300.000, maka petani mendapatkan tambahan penghasilan Rp. 550.000. Tentu cukup lumayan

Namun, perhitungan seperti seringkali tidak terjadi. Pasalnya, pada saat panen harga turun menjadi Rp. 15.000,- Meskipun petani mendapatkan tambahan penghasilan Rp. 550.000 ( Rp. 2.250.000-1.700.000), namun setelah dikurang biaya pupuk Rp. 300.000, ia hanya mendapatkan selisih keuntungan Rp. 250.000,- dan kurang menarik.

Itulah yang terjadi. Umumnya petani paham pupuk itu penting, mengelola kebun dengan baik itu perlu, tapi seringkali dampak perbaikan yang mereka lakukan tidak berdampak terhadap penghasilan. Sehingga petani berpikir, “Toh tidak melakukan apa-apa saya mendapatkan untung”. Sedangkan saat petani melakukan perbaikan hasilnya tidak bisa diprediksi dan tidak signifikan, maka wajib jika petani berpikir tidak melakukan apa-apa.

Pengalaman saya di lapangan menunjukkan, petani juga melakukan berbagai inovasi. Hanya saja, ada 3 hal yang tidak bisa dikendalikan petani oleh keterbatasannya.

Pertama, akses terhadap pasar. Hampir 80 % petani di Indonesia tidak mengetahui tentang pasar dari produk yang ia jual, siapakah pengguna akhirnya? Dan berapa harga ditingkat pabrik atau pengguna akhir? Seringkali harga ditingkat petani adalah harga pedagang. Jadi meskipun harga di pabrik atau harga dunia meningkatkan, harga di tengkulak berbanding terbaik.

Kedua terbatasnya akses terhadap informasi. Saya teringat bahwa teknologi sambung samping di kakao bukan hal yang baru. Hanya ini menjadi konsumsi peneliti. Tapi ketika teknologi ini disebarluaskan melalui program gernas, ternyata petani yang tidak ikut dalam kegiatanpun mempelajarinya dan akhirnya bisa melakukannya, lalu menggunakan entres dari kebun yang ikut gernas ia melakukan rehabilitasi secara mandiri.

Ketiga, akses terhadap modal. Tidak ada pupuk, pestisida, dan sarana produksi lainnya ketika petani tidak punya modal kerja. Kalaupun ada, ya, ke tengkulak yang pada akhirnya pihak yang kembali merusak harga pembelian produknya, karena mengijonkan hasil kebunnya.

Jadi tidak benar petani itu tidak sejahtera karena kebodohannya. Bahkan dengan segala keterbatasannya petani mampu menciptakan inovasi. Hanya ia tidak mampu mengendalikan pasar yang bisa saja dikendalikan oleh kartel atau kekuatan yang luar biasa, menghimpun modal, sesuatu yang terkumpul pada sekelompok orang yang bersedia meminjamkan kepada petani untuk mencari untung sebesar-besarnya dan mengakses teknologi yang tersimpan rapi di pusat-pusat penelitian dan butuh biaya mahal untuk mengaksesnya. Sehingga petani membutuhkan penolong dari kekuatan tersebut yakni pemerintah.

@Yan Sulaeman

Pelopor Sultra Bermimpi

www.yansulaeman.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline