Isu reshuffle dalam pemerintahan Jokowi menyeruak. Beberapa tokoh mulai memberi saran dan mendorong Jokowi untuk mengevaluasi kinerja para menterinya. Setidaknya ada dua kejadian besar yang membuat isu reshuffle kabinet mengemuka.
Pertama ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan kedua ditangkapnya Menteri Sosial Juliari Batubara dalam kasus bantuan sembako karena pandemi covid 19.
Dua kejadian memalukan yang menampar Jokowi ini tentu menjadi pertanda bagi Jokowi untuk mengecek ulang dengan lebih teliti kinerja para menterinya. Tentu Jika ternyata kinerja para menteri yang lain bagus ya tak perlu ada reshuffle kabinet.
Namun setidaknya ada ada menteri yang dipilih karena keterdesakan situasi politik yang cukup menarik untuk dibahas apakah akan diganti atau tidak.
Pertama Prabowo Subianto. Setidaknya ada beberapa alasan untuk mengganti Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Prabowo Subianto lah yang menunjuk Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP Namun nyatanya Edhy Prabowo korupsi. Mirisnya korupsi yang dilakukan Edhy Prabowo ternyata berbau nepotisme karena melibatkan perusahaan milik Hashim Djojohadikusumo yang adalah adik kandung Prabowo.
Tentu ini adalah sesuatu yang sangat memalukan, belum satu tahun menjabat sudah korupsi besar-besaran. Alasan lain yang dapat menjadi pertimbangan Jokowi untuk mengganti Prabowo adalah Prabowo tampaknya tidak segarang saat dia berkampanye saat menjadi Menteri Pertahanan.
Memang alasan Prabowo yang mengatakan bahwa seorang menteri pertahanan tidak boleh banyak bicara pada publik dan media cukup bisa diterima. Namun untuk statement-statement yang perlu juga tampaknya Prabowo tidak hadir untuk menenangkan publik. Dalam kasus Rizieq Shihab dan kelompoknya misalnya, Prabowo tampak tidak mengeluarkan statement yang menunjukkan bahwa dia mewakili kekuatan negara untuk menjaga keutuhan Indonesia.
Dalam kasus Natuna Prabowo juga tampak lemah, Prabowo tidak mengecam dengan keras Cina yang coba mengusik kedaulatan Indonesia. Alasan selanjutnya yang membuat Prabowo layak dievaluasi adalah loyalitas partai Gerindra pada Jokowi.
Kalau mau jadi koalisi jadilah koalisi kalau mau jadi oposisi jadilah oposisi. Jangan berkoalisi untuk jabatan tapi sikap partai seperti oposisi itu namanya tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Sampai sekarang partai Gerindra tidak bisa menertibkan beberapa kadernya, terutama yang paling menonjol adalah Fadli Zon. Fadli Zon terus memprovokasi masyarakat dan membela Front Pembela Islam.
Bahkan Fadli Zon membandingkan Jokowi dengan Putin Presiden Rusia. Fadli Zon memuji bahwa Rusia beruntung memiliki Putin. Lalu bertanya apakah Indonesia beruntung memiliki Jokowi? Tentu itu pertanyaan konyol, mengingat Rusia adalah negara komunis dan Bukankah Fadli Zon anti-komunis? Lalu bagaimana mungkin Fadli memuji Putin.
Nama kedua adalah Mahfud MD. Menteri koordinator bidang politik hukum dan hak asasi manusia ini memang sangat dibutuhkan Jokowi. Peran Mahfud MD sudah lebih dari seorang wakil presiden. Hal itu bisa dimaklumi mengingat kapasitas Mahfud MD yang adalah akademisi dan pakar hukum.