Menahan diri, hal inilah yang tengah coba saya lakukan akhir-akhir ini. Terutama dalam menggunakan media sosial facebook. Triknya, saya selalu men-setting postingan saya dengan kode gembok, atau lebih tepatnya dibuat privat,sehingga hanya saya yang bisa membaca status atau melihat apa yang saya posting. Loh, buat apa bikin status di facebook kalau yang bisa melihat cuman diri sendiri? Mending simpan di dalam hati saja toh.
Ya sebenarnya itu cuman cara sederhana saya agar, otak, jari-jemari dan akun facebook saya bisa bekerja sama sebelum nulis sesuatu di media sosial, lagi-lagi facebook. Jadi ketika saya nulis sesuatu dan saya posting, tak ada yang bisa melihat status saya tersebut, saya baca ulang, saya cerna, ouh ternyata apa yang saya tulis barusan bukanlah sesuatu yang pantas untuk dibaca orang lain. Begitu tujuannya.
Hari ini sampai beberapa hari ke depan saya yakin, status soal politik masih mendominasi di linimassa facebook. Tapi buat saya sih oke-oke saja, saya anggap hiburan. Tapi membaca status tentang politik di facebook, saya jadi ingat gaya militer Amerika di Timur Tengah sana. Saya lupa istilahnya, tapi model perangnya begini: Amerika memanfaatkan kaum pemberontak atau memanfaatkan sebuah negara untuk menyerang pihak yang dirasa merugikan Amerika. Jadi intinya memanfaatkan pihak ketiga untuk mencapai tujuannya, begitu kira-kira.
Dan.... "move on" adalah salah satu kata yang sering digunakan dalam status berbau politik akhir-akhir ini. Biasanya kata ini ditujukan pada mereka yang dianggap tak terima jagoannya kalah dalam panggung politik (lagi nggak bisa ngelucu nih, nulisnya serius dulu).
Dalam kasus Ibu Kota Jakarta misalnya, garis pembatas antara kubu yang pro dan kontra sangat jelas sekali terlihat. Maka sikap para pengguna facebook yang fokus mengomentari masalah ini, biasanya mudah saja ditebak. Dia yang dulunya meminta kubu di seberang sana untuk move on karena jagoannya masih menjabat, dan berusaha membela tiap kebijakan gubernur yang didukungnya, akan berbalik saat sosok yang dipilihnya kalah.
Dunia terbalik: kini dialah yang akan terus mengkritik kebijakan sang pemimpin baru, dan kubu diseberang sanalah yang akan terus membela sang pemimpin terpilih, dan dilihat dari kacamata orang netral, status haters kini sudah berpindah tempat.
Sekali lagi, menurut saya sih seru-seru saja, justru kalau tidak ada yang nyetatus soal politik facebook malah sepi, jadi lanjutkanlah. Tapi seperti strategi militer Amerika yang saya jelaskan di atas, yang penting disini adalah konflik horizontal atau katakanlah perdebatan yang tercipta diantara kita, sesama teman.
Saya coba mencermati, saat seseorang membuat status politik yang bersifat kontra ataupun pro pada sesuatu, sebenarnya bukan karena dia perduli atau ahli dalam isu tersebut. Status tersebut hanya untuk mendebat (antitesis) status teman sebelah.
Jadi tanpa disadari, sebenarnya budaya diskusi yang baik itu masih lemah banget di kita. Daripada mengomentari status teman yang kita rasa tak cocok dengan pandangan kita, kita lebih suka membuat status balasan. Jadi sebenarnya, facebook itu tanpa kita sadari sudah menciptakan budaya sindir menyindir yang amat kuat.
Membuat status bukan karena dia pro atau kontra dengan sesuatu, melainkan karena dia hanya tak terima dengan pandangan berbeda dari orang lain. Coba lihat sebuah status yang sebenarnya bisa diperdebatkan atau didiskusikan, biasanya yang komentar kebanyakan yang pro dengan status tersebut. Yang kontra ke mana? Demi menjaga hubungan baik pertemanan, komentarnya lewat status saja. Nulis status baru.
Terbukti, sebenarnya sebuah hubungan sangat berharga bagi kita. Tapi hanya karena isu yang levelnya tak terjangkau, kok kita sampai gontok-gontokkan lewat status. Tapi itu urusan klenlah. Saya hanya belajar mencermati pola komunikasinya saja.