Belakangan ini, terutama warga jawa barat, hampir semuanya membahas tentang Dinas Perhubungan Jawa Barat yang resmi melarang transportasi berbasis aplikasi, baik roda dua maupun empat. Transportasi berbasis aplikasi atau yang lebih sering disebut dengan taxi online atau ojek online ini akhirnya dilarang menarik penumpang sampai diterbitkannya peraturan baru yang sah mengenai transportasi online.Dari beberapa informasi yang saya baca, para pelaku transportasi online diminta menahan diri sampai bulan november, atau sampai dikeluarkannya peraturan tentang transportasi berbasis aplikasi ini.
Dari yang saya coba pelajari (mohon koreksi kalau salah) pelarangan ini bermula saat para pelaku usaha angkutan umum se-Bandung Raya berniat melakukan aksi mogok massal dari tanggal 10 hingga 13 Oktober 2017. Hal inilah yang sempat dicarikan solusinya oleh Ridwan Kamil. Di akun instagramnya, dia mengajak warga Bandung untuk menjadi volunter, yaitu menghimbau para pemilik kendaraan di kota Bandung untuk memberikan tumpangan pada anak-anak sekolah.
Namun saya kutip dari Kompas.com, aksi mogok tersebut ditunda menyusul adanya mediasi antara Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT) Jawa Barat bersama Gubernur Jabar, Kapolda Jabar, Kadishub Jabar, serta Kapolrestabes Bandung di Gedung Pakuan, Jumat (6/10/2017) lalu. Secara kronologis, begitulah singkatnya kenapa transportasi online seperti Go-Jek dan Grab dilarang beroperasi di jawa barat.
Walaupun dari beberapa sumber yang saya baca, menurut Wakil Ketua DPP Organda (Organisasi Angkatan Darat) Jabar Husein Anwar mengatakan, pihak transportasi online hendak melakukan off speed (tidak beroperasi) dari tanggal 10 hingga 13 Oktober ini. Hal ini mereka sampaikan saat pertemuan bersama Pemprov dan Dishub Jabar. Artinya telah terjadi kesepakatan bersama antara pihak transportasi online dan pemerintah Jawa Barat.
Sayapun tak tahu siapa wakil dari pihak transportasi online yang hadir dalam diskusi sebelum diputuskannya pelarangan transportasi online tersebut. Kalaupun ada, dan kalaupun dicapai kesepakatan bersama, saya yakin hal itu karena pihak transportasi online ada dalam tekanan lembaga dan massa.
Adapun yang menjadi tuntutan para pelaku transportasi konvensional tersebut, menurut gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan adalah tentang perlakuan yang sama. Jika transportasi konvensional ada KIR tanda kendaraan, nopol kuning, bayar pajak, hingga jenis SIM supir yang harusnya sama antara transportasi online dan konvensional.
Bagaimana saya memandang kejadian ini? Secara saya pernah menjadi driver Go-Jek, pernah juga menikmati layanan mereka saat tak lagi jadi pengojek online. Bahkan belakangan ini saya tertarik untuk bergabung kembali menjadi pengojek online. Tapi walaupun begitu, saya tak merasa harus menggebu-gebu, membela para pelaku transportasi online. Mungkin akan sedikit membosankan, namun sebagai orang yang pernah menjadi pengojek online, hal yang patut disayangkan dari keputusan ini antara lain:
- Seperti yang dijelaskan dengan mantap oleh pakar Rhenald Khasali, bahwa kelebihan sistem transportasi online ini terletak pada share economy-nya. Dengan begitu, saya yang ketika itu adalah pengojek online tak berstatus kuli atau bawahan perusahaan transportasi online tersebut. Saya adalah mitra kerja mereka. Saat saya bergabung menjadi pengojek online status saya masih bekerja (ditambah lagi kuliah), hal ini bisa dilakukan karena transportasi online yang sifatnya Freelance.
Mau narik atau tidak bukanlah soal. Namun dulu yang menjadi soal kalau tak narik adalah, saldo kita yang tertera pada aplikasi akan terus berkurang dan menjadi minus, karena saat itu para pengojek online diberikan smartphone, helm, jaket dengan jaminan kartu keluarga, ijazah, akte lahir, ataupun bukti kepemilikan kendaraan. Lalu barang-barang yang diberikan pihak transportasi online tersebut dicicil, yaitu dipotong dari saldo pendapatan si supir transportasi online. Jadi sebenarnya, amat disayangkan karena dengan dilarangnya transportasi online, kesempatan masyarakat untuk mencari uang tambahan menjadi hilang. - Dulu, saya sebut saja, Go-Jek mengadakan penerimaan driver Go-Jek besar-besaran di salah satu gedung di daerah Buah Batu, Bandung. Saat itu saya yakin mereka salah strategi, dengan membuka penerimaan besar-besaran, pendapatan driver menjadi berkurang. Tergerus oleh driver yang menjadikan kegiatan mengantar penumpang tersebut sebagai sampingan saja. Sehingga bisa dikatakan ketika itu (saya juga mengalami) untuk mendapatkan satu penumpang saja kami harus rebutan. Siapa paling cepat meng-klik, dia dapat.
Tapi itu dulu. Saat saya memutuskan berhenti dan mengembalikan atribut ojek online, saya sempat berbincang dengan pegawai transportasi online tersebut, dan seperti tebakan saya, banyak juga yang mengundurkan diri. Terutama yang memang sebenarnya sudah bekerja. Sebab kenyataannya, pendapatan seorang pengojek online yang dikatakan bisa berjuta-juta sebulan hanyalah kisah yang sulit dicapai saat jumlah mitra transportasi online sudah semakin banyak. Makanya ada yang bilang, pada akhirnya tak mungkin orang yang bekerja menggunakan tenaga bisa mengalahkan pendapatan orang yang bekerja dengan otak. - Jadi tebakan saya, kondisinya saat ini banyak mitra transportasi online yang sebenarnya sudah menjadikan profesinya sebagai supir ojek atau taksi online bukan lagi sekedar sampingan. Tapi mereka adalah orang yang benar-benar fokus bergelut dengan transportasi online. Sebab dari pengalaman saya, menjadi driver transportasi online untuk sampingan adalah kesalahan. Contohnya, kita kerja sampai jam lima sore, terus nariknya mau kapan?
Memang dulu saya nariknya sambil pulang kerja. Tapi lama-kelamaan capek dan jenuh juga. Kalau hanya satu penumpang, potong bensin dan paket internet serta pulsa buat menelepon si calon penumpang saja sudah habis. Jadi tak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan saat mengantarkan si penumpang ditengah kemacetan. Jadi mereka yang masih bertahan, atau baru bergabung dengan transportasi online menurut saya kebanyakan adalah mereka yang tidak (lagi) bekerja (karyawan swasta). - Nah jika boleh kritis, kesalahan pemerintah Jawa Barat adalah hanya melihat dari sisi pemilik usaha transportasi online dan dari perspektif konsumen. Padahal jika diteliti lebih dalam saya yakin, mereka yang menjadi supir transportasi online, sedikit banyak menggantungkan kehidupan mereka pada pada pekerjaan tersebut.
Saya rasa, pemerintah Jawa Barat, melalui dinas perhubungannya, terlalu anggap enteng saat memutuskan melarang transportasi online beroperasi, walaupun hanya sementara. Padahal buat saja dulu aturannya, setelah itu barulah disosialisasikan. Walaupun akan sangat sulit, mengingat para pelaku usaha angkutan umum se-Bandung Raya meminta perlakuan yang adil.
Sebenarnya saat Ignasius Jonan masih menjadi menteri perhubungan pada tahun 2016 lalu, ojek dan taksi online sudah pernah dilarang beroperasi. Alasannya karena tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan. Namun hal tersebut berbeda dengan Presiden Joko Widodo yang melihat peristiwa transportasi online ini kasuistis. Dalam beberapa kesempatan Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa transportasi online adalah solusi yang lahir dari bawah, lahir karena kebutuhan. Kebutuhan akan apa?
- Kemacetan yang semakin gila-gilaan di perkotaan. Bukan hanya Jakarta, Bandung saja macetnya sudah nggak ketulungan.
- Transportasi konvensional kurang memberi kenyamanan, baik dari ketidakpastian harga dan kebersihan. Coba saja kita mesan ojek untuk tujuan tertentu, harganya pasti mahal, harus tawar menawar. Juga angkot dan bus kota, selain lebih lama terjebak macet karena ukurannya, tak jarang kondisi kendaraan umum tersebut kurang bersih dan nyaman.
Dua faktor ini saja sudah membuat penumpang ingin meninggalkan transportasi konvensional jika ada pilihan yang lebih baik. Tadi saya mendengar salah seorang penelepon di sebuah radio bilang gini, "tak jadi soal mau online atau offline, kalau transportasinya bisa menawarkan kenyamanan pasti tetap dipilih oleh masyarakat. "Ya menurut saya ada benarnya juga.
Kembali, dalam berbagai kesempatan, Joko Widodo saat masih menjadi walikota Solo, gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden, sering mengatakan tentang pentingnya transportasi massal.
"Di sebuah kota di Eropa Timur yang penduduknya hanya 1,8 juta jiwa saja moda transportasinya ada metro bawah tanah, ada trem, ada bus, banyak sekali. Sedangkan di Jabodetabek yang penduduknya 2,8 juta jiwa dan hanya ada dua line; blue line dan green line." ujar Joko Widodo suatu kali saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Beliau saat itu sangat fokus membangun transportasi massal. Melalui tulisan ini saya hanya ingin mengingatkan, bahwa transportasi online saat ini adalah transportasi alternatif (karena kondisi) tujuan besarnya adalah transportasi massal.