Seperti biasa, tulisan ini sekedar intermezzo saja ya. Hawa dingin menyelimuti Bandung kemarin sore.
Saya ingat banget dulu suka bertanya gini sama orang yang baru saya temui di tempat kerja. Maksudnya sih sambil kenalan."Usianya berapa? Lulusan apa?"
Dulu saya tidak sadar, mungkin pertanyaan ini bisa sensitif buat beberapa orang. Namun saat itu saya masih merasa muda dan bangga akan usia saya yang masih belasan tahun tapi sudah bekerja. Dua pertanyaan di atas selalu memberi kelegaan bagi saya. Ketika orang tersebut menjawab usianya sudah dua puluh lima tahun atau lebih, lalu hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (Sederajat) saya tiba-tiba menepuk dada, bersyukur.
Selain sudah bekerja, saya yakin di usia segitu saya sudah jadi sarjana dan sukses. Pokoknya sukses di usia muda. Padahal saya sendiri belum bisa secara spesifik membayangkan saya bakal sukses sebagai apa, dan caranya bagaimana? Tapi inilah menurut saya yang namanya darah muda.
Apalagi orang kampung kayak saya yang saat itu belum lama tinggal di kota Bandung, bawaannya pengen sukses mulu. Tapi itu dulu, saat saya masih remaja yang tengah berdiri dipersimpangan menuju dewasa. Baik secara pola pikir ataupun usia.
Tulisan ini tidak ada maksud membangun pesimisme, kan kata Nidji juga bermimpi itu adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia. Tapi saya cuman mau cerita saja, tentang tantangan yang bakal kita hadapin dipersimpangan remaja menuju dewasa. Apalagi kamu yang baru lulus dari bangku sekolah menuju dunia kerja dan dunia universitas.
Jangan Terlalu Bangga Akan Mudanya Usia dan Jangan Kecilkan Situasi Orang yang Lebih Tua dari Kamu
Seperti yang saya ceritakan di atas. Tidak salah sih kalau anak muda itu ingin sukses saat masih muda, justru bagus menurut saya. Tapi jangan bandingkan situasi orang lain dengan keberadaan kita saat ini. Saya kenal orang yang cukup bangga dengan kemudaannya. Saat saya tanya,"Oh saya mah masih sembilan belas tahun." Memang itu fakta, dia masih muda, dan memang harus punya mental optimis.
Tapi saya menangkap ada kebanggaan berlebih karena dia sudah bisa kerja, bisa nyetir mobil, anggota karate, saat dia masih belasan tahun. Dan dia selalu yakin akan jadi orang hebat setelah lulus kuliah. Tapi siapa sangka tiba-tiba kontrak kerjanya tidak diperpanjang, hingga akhirnya dia menganggur.
Lama dia mencari kerja, akhirnya dia mendapat kerja di luar kota. Mau tak mau dia harus cuti kuliah karena memilih bekerja. Kalau sudah begini mau bilang apa?
Maksud saya, kalau kita yang muda-muda ini berpikir bahwa jalan di depan sana mulus kayak pipinya Mikha Tambayong, kita keliru.
Cita-cita saya juga dulu datang ke Bandung ini jadi anak band. Tapi apa hendak dikata, lingkungan tidak mendukung. Citra anak band di kampung dengan kota itu beda. Di kampung dengar band kayak Hijau Daun, Ungu, Armada, kesannya sudah keren banget. Lah di Bandung, boro-boro. Ada konser band apapun teman saya cuek aja tuh.