Kalau ada yang bilang berbagi itu indah, maka saya berani bilang kalau tak selamanya berbagi itu indah. Semua tergantung apa yang dibagi. Kalau kita berbagi materi atau sembako pada orang miskin atau orang yang tengah tertimpa musibah, berbagi adalah sebuah tindakan yang selama-lamanya indah. Tujuannya juga sudah mulia, berbagi untuk menolong orang lain, berbagi untuk memberi, dan berbagi untuk meringankan beban orang lain. Tapi bagaimana kalau kita setiap hari terdorong untuk berbagi, tapi bukan berbagi uang atau sembako, melainkan berbagi apa yang kita alami sehari-hari.
Saat tengah menonton sebuah film yang mengharu biru kita langsung tak tahan untuk membagikannya lewat media sosial. Ketika tengah berada pada sebuah tempat yang indah, maka tangan langsung buru-buru membidik kamera untuk kemudian membagikannya ---lagi-lagi--- di media sosial. Ada persoalan dikit langsung curhat di media sosial, biar disangka bijak, kuat, bahagia, dan parahnya posting di media sosial untuk membuktikan kalau saya sudah begini dan begitu. Saya sih bukan mau membahas tentang media sosial, tapi lebih ke bagaimana manusia menggantungkan kesenangan dan kedamaian hatinya pada apa yang dia bagi di media sosial. Secara tak langsung, membuat orang lain tahu banyak tentang dirinya adalah sebuah metode untuk bahagia.
Saya lagi suka banget sama kata-kata yang ada di bionya akun instagram polwan cantik bernama Ismi Aisyah (lihat gambar di atas). Menurut saya kata-katanya dalam banget, sebuah kedalaman yang menampar, sebuah kedalaman yang membuat kita sadar,” udah lah nggak usah capek-capek menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu."
Saya tidak bilang membagikan sesuatu di media sosial itu salah loh ya, toh saya juga masih suka posting ini itu. Tapi dari kata-kata di atas kita bisa belajar untuk bahagia dalam silent mode.
Saya sudah rasain mencoba membangun kesenangan dalam hiruk pikuk media sosial itu pasti ujungnya kejenuhan dan perasaan hambar. Apalagi mencoba menjadikan media sosial sebagai ajang pembuktian, percayalah perasaan model begini tak akan bisa terpuaskan. Itu sebab sejatinya, kita harus mengembalikan media sosial pada fitrahnya, yaitu sebagai tempat berekspresi dan bersosialisasi. Bukan sebagai wadah untuk pembuktian diri.
Jujur saya sangat salut dengan seorang Reza Rahadian, sebagai aktor papan atas, dia tak memiliki satu akun media sosial pun. Dia tak punya facebook, twitter, instagram pokoknya dia tak punya satu akun media sosial pun. Dalam beberapa kesempatan intervew dia sering ditanya kenapa tak memiliki akun medsos. Dia hanya menjawab kalau dia belum tertarik, tapi bukan anti loh ya, dia hanya belum tertarik.
Lalu saat ditanya apa dia bahagia hidup tanpa media sosial dan kalau bahagia apa resepnya dia menjawab bahwa dia bahagia. Dia merasa tak perlu memberi tahu semua orang kalau dia sedang syuting, dia lagi begini dan dia lagi begitu. Lalu dia membagikan prinsip kebahagiaannya: bagi Reza Rahadian,”Hidup cukup itu cukup.”
Saya tidak bilang orang yang main media sosial itu tidak bahagia loh ya. Tapi menurut saya membedah kehidupan Reza Rahadian yang merasa baik-baik saja tanpa media sosial itu seperti mempelajari kehidupan seseorang yang sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Dia bak seorang petapa yang merasa damai bersemedi di dalam gua. Dia merasa tak perlu membuktikan apapun pada siapapun.
Ini adalah sebuah perasaan dengan level yang jarang dicapai oleh kebanyakan orang. Tapi menurut saya penting bagi kita untuk sesekali meniru Reza Rahadian. Oke tak perlu terlalu ekstrim. Misalnya kita komitmen dalam satu bulan atau dua bulan ini tidak main medsos --- kalau tidak salah bahasanya nih --- jadi silent reader pun tidak. Pokoknya hapus saja aplikasi medos di smartphone kita. Kan gampang nanti tinggal di install lagi.
Nanti kalau kesepian bagaimana? Setahu saya sih media sosial pun tak akan mampu menghapuskan sebuah kesepian. Dalam konteks kesepian medsos hanya hadir sebagai pengalihan (distraction). Itu sebab penting untuk mendidik diri agar beradaptasi terhadap perasaan sepi, tujuannya agar sepi itu menjadi situasi yang kelak akan terasa biasa, bukan sesuatu yang bikin kita merana. Memang sih kebahagiaan itu tidak bisa dimetodekan, tapi orang yang terbiasa menantang diri biasanya akan lebih tangguh saat di depan nanti sesuatu terjadi.
Kalau tiba-tiba dia ada masalah, dia bakal bisa melihat masalah itu sampai pada ke akar-akarnya. Dia tahu kalau curhat di medsos tuh tak akan menolong, boro-boro, memberi kelegaan aja tidak kok. Tidak perduli seberapa banyak orang yang tahu masalahnya, dia tak akan merasa lega. Itu sebab dia akan mencari pribadi yang tepat, Tuhan misalnya dengan cara berdoa. Itulah kenapa menurut saya berbagi itu tidak selamanya indah. Berbagi sesuatu di medsos itu terkadang jatuh-jatuhnya tuh bukan berekspresi apalagi berbagi. Tapi sekedar pengalihan, sekedar pembuktian diri. Kalau pengakuan yang dikejar, mungkin kita bisa dapatkan. Tapi kalau kebahagiaan saya pikir sih tidak ya.