Lihat ke Halaman Asli

Boris Toka Pelawi

TERVERIFIKASI

.

Jangan Terintimidasi Kesuksesan Teman Anda

Diperbarui: 15 April 2019   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya juga anak muda pasti jiwa kompetitifnya masih tergolong tinggi. Hal ini tak lepas dari ambisi yang menggebu-gebu. Ingin begini ingin begitu, lakukan ini supaya dapat itu, dan lain sebagainya dan lain sebagainya. 

Adalah wajar jika seorang muda memiliki ambisi untuk meraih berbagai pencapaian, kalau tidak memiliki keinginan yang demikian justru harus dipertanyakan 'kemudaanya.' Menjadi pribadi yang sukses adalah impian seluruh manusia, terutama kawula muda yang selalu ingin membuktikan diri bahwa mereka bisa, bahwa mereka mampu.

 Apa lagi kalau sering ditolak wanita, beuhh! Biasanya obsesi untuk menjadi orang sukses, mapan dan kaya raya akan hidup sebagai cambuk yang selalu memberi energi untuk banting tulang: Lihat saja kau bakal nyesal karena udah nolak aku! Mungkin begitulah cambuk yang menjelma dari rasa sakit hati itu jika diterjemahkan ke dalam kata-kata.

Apapun motivasinya, jika hal tersebut bisa membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik, saya rasa tak ada masalah. Namun tak jarang motivasi untuk menjadi sukses ini ditumpangi oleh beban moral yang tak seharusnya. 

Dosen character building saya dulu pernah bilang begini: nanti saat kita reunian, bakal kelihatan mana yang sukses dan gagal. Yang datang reunian berarti sudah pada sukses dan yang nggak sukses kemungkinan besar tidak akan datang.

Di sini saya tak akan memperdebatkan definisi sukses atau gagal, atau mencoba memperjelas batasan antara orang yang sukses dan gagal. Alasan pertama, karena saya sendiri belum merasa sukses, namun tak juga merasa gagal. 

Kedua, saya mencoba merespon positif perkataan dosen saya tersebut. Dipikir-pikir benar juga ya, bayangkan saat nanti usia kita telah menginjak empat puluh tahun, namun status kita masih pengangguran dan belum nikah-nikah lalu datanglah sebuah undangan untuk reuni dari kampus. Bagaimana kira-kira? Akankah kita datang? Kalau saya, terlepas dari datang atau tidak, yang jelas saya tak bisa langsung mengiyakan untuk datang, saya mesti mikir dulu.

Memang masalahnya apa sih?Jujur ajalah..ya Karena malu. Teman-teman kita dulu yang sering kita debat di kelas dan selalu kalah argumen sudah menjadi direktur sebuah BUMN. Eh kita yang dulu paling aktif dan bermulut besar di kelas malah belum jadi apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Tentu merasa malu adalah wajar, walaupun dengan berbagai argumen dan nasehat moral juga tak dapat dibenarkan.

Jika kasusnya demikian, maka rasa malu itu dapat dikatakan wajar. Nah masalahnya terkadang beban kesuksesan tersebut diikuti dengan perasaan yang bukan sekedar malu, tapi juga mengintimidasi! 

Jujur saya juga pernah mengalami hal ini, ketika itu karena masalah ekonomi saya harus bekerja dulu selama dua tahun sehingga tidak bisa langsung melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Padahal saya sangat ingin kuliah.

Hal yang mengintimidasi saya muncul dari Facebook. Saat itu saya melihat status serta foto-foto teman SMA saya, ada yang sudah kuliah di sana ada yang sudah kuliah di sini. Nah secara tak langsung saya yang sangat ingin kuliah pun seperti merasa diintimidasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline