By: Akh. Toharudin
Film merupakan karya seni budaya sebagai komunikasi massa yang membawa pesan kepada publik melalui fungsi pendidikan, hiburan, informasi dan pendorong karya kreatif yang mempunyai daya pengaruh besar terhadap kehidupan sosial ekonomi yang mampu memajukan kesejahteraan masyarakat.
Seiring dengan perkembangan zaman nilai-nilai budaya dalam masyarakat Indonesia terus berubah begitu juga dengan perkembangan film di Indonesia. Budaya kita semakin hari semakin tidak jelas. Mengapa? Karena film dan budaya bersifat timbal-balik. Budaya mempengaruhi film dan sebaliknya film juga dapat mempengaruhi budaya.
Film merupakan cerminan masyarakat karena di satu pihak film itu sendiri sebagai media. Budaya yang ada pada masyarakat disajikan melalui film yang dibuat. Akan tetapi budaya negatif bangsa Indonesia tak lepas dipengaruhi oleh film. Kepercayaan sebagian masyarakat terhadap film yang mengangkat mitos dan horor, tindakan kekerasan, serta gaya hidup hedonisme karena pengaruh oleh film yang ditonton.
Sayangnya pembentukan budaya di Indonesia seperti cinta tanah air hanya sebagai slogan atau semboyan. Ironisnya masyarakat kita lebih bangga terhadap hasil karya bangsa asing. Faktanya bahwa masyarakat cenderung menggemari film asing, dibanding film bangsa sendiri. Masalah ini terletak pada film yang disajikan di Indonesia sering mempertontonkan budaya yang tidak mendidik.
Sejak masuk pada tahun 2000 lalu, film Korea memiliki tempat istimewa dalam benak masyarakat Indonesia. Kenapa? Film Korea yang diangkat membawa komunikasi budaya, pendidikan dengan menekankan pada karakteristik Negara Korea. Nilai yang terkandung didalamnya mampu tersampaikan dengan baik melalui karya film kepada masyarakat Indonesia sebagai salah satu penikmat film Korea.
Bayangkan, mulai dari bahasa, budaya, dan pemikiran mereka transformasikan ke dalam film. Tapi rupa-rupanya penduduk Indonesia, menganggap fenomena ini biasa-biasa saja, bahkan mereka tidak sadar sedang terpengaruh budaya Korea dan mulai "menghapus" budaya sendiri.
Korea memang tidak salah, menjadikan film sebagai market budaya. Kitalah yang salah, yang tidak mampu menyaring maupun membatasi peredarannya. Dari segi propaganda budaya kita bahkan tidak tahu cara menyisipkan budaya dalam film. Dalam segi bahasa, Indonesia lebih sering menggunakan bahasa campuran atau bahasa gaul yang membuat bahasa Indonesia menjadi bias.
Indonesia bisa belajar terhadap film korea yang mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia, bagaimana mereka menampilkan sisi budaya, pendidikan mereka kepada kita, sehingga masyarkat mengalami demam film korea.
Pelajaran yang penting untuk ditiru adalah, masyarakat Indonesia untuk mengatahui budaya mereka tidak harus datang ke Negeri Korea cukup dengan menonton tayangan film korea. Bahwa budaya yang terjadi disana tersirat dalam adegan film-film Negeri Gingseng baik yang bertema cinta, penghianatan, peperangan, hingga sejarah.
Indonesia yang kaya budaya, suku, ras, dan hamparan luas kepulaun. Menjadi tanggung jawab steckholder untuk ditarnformasikan dalam bentuk film dengan penyajian yang betul-betul berbobot. Karena karekter budaya bangsa Indonesia, lebih menarik di filmkan dari pada hanya disosialisakan baik dengan bentuk pelatihan, seminar, dan tulisan kepada masyarakat secara umum.
Indonesia harus segera memulai perfilman dengan menekankan pada potret karakteristik pendidikan dan budaya bangsa Indonesia, dari masing-masing suku, ras baik tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota.