Lihat ke Halaman Asli

Tokyo Sonata

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Si ayah dipecat dari pekerjaannya, tapi tak seorangpun yang tahu. Tidak si istri dan tidak juga si anak. Si ayah tetap berusaha terlihat sibuk. Ia tetap berbaju rapi dan menenteng tas dan berangkat pagi dan pulang malam seperti biasanya. Dan lalu apa yang sebenarnya ia lakukan selama seharian? Si ayah hanya duduk-duduk di taman, atau berjalan-jalan tak tentu arah, atau mengantri makanan gratis bagi orang-orang tak mampu. Ia memang bangkrut dan menganggur kini, tapi ia tak mau orang lain mengetahui hal tersebut. Ketika ia pulang lebih awal, setelah lelah berkeliaran seharian, ia akan pulang lewat jendela belakang karena ia tak mau para tetangga tahu dan bertanya-tanya tentang kepulangannya yang lebih awal tersebut. Ia tak ingin terlihat memalukan dan tetap berusaha menegakkan harga dirinya.

Seorang lelaki lain, teman si ayah sewaktu sekolah, juga dipecat dari pekerjaannya. Ia pun juga berkelakuan sama. Ia bahkan memprogram telepon genggamnya untuk berbunyi sekian menit sekali agar ia tetap terlihat sibuk dan tak menganggur. Namun akan mampu bertahan berapa lamakah kepura-puraan itu? Mereka bangkrut dan simpanan di rekening telah nyaris mengering, dan sementara makanan tetap harus dibeli dan uang sekolah anak tetap harus dibayar.

Jepang, di dalam film Tokyo Sonata, garapan sutradara Kiyoshi Kurosawa, memang terlihat kaku, suram dan pahit. Tapi banyak orang meyakini, bahwa memang seperti itulah sisi lain dari kehidupan kota besar di Jepang.

Teman si Ayah akhirnya bunuh diri dengan cara meracuni diri. Ini seperti menggarisbawahi angka bunuh diri yang cukup tinggi di Jepang. Tekanan itu memang begitu menghancurkan hati.

Hidup telah menjadi begitu runyam dan nyaris seluruh manusia telah kehilangan kuasa atas dirinya. Dan di dalam Tokyo Sonata, si ayah lantas mencoba mempertahankan kuasa dirinya di dalam keluarga dengan cara yang absurd, semisal melarang anaknya bermain piano tanpa alasan. Ia tiba-tiba menjadi haus kuasa di saat dirinya justru kehilangan kuasa atas dirinya. Keluarga itupun berantakan. Hancur berkeping. Dan lalu bagaimanakah semua ini bisa dimulai kembali? Itulah pertanyaan di film ini: Bagaimanakah memulainya lagi? Bisakah kita memulai lagi dari awal? Apakah ini titik balik? Semua orang ingin memulai kembali, dari awal, seperti bayi.

Bagi saya, ini bukan hanya soal Jepang.

Kepahitan hidup, telah malampaui gedung-gedung tinggi nan geometris di Tokyo. Kepahitan telah menjadi udara, menyeberangi lautan dan menyebar ke segala arah. Ia ada dimana saja. Ia ada dikehidupan kita di setiap menit.

Jauh sebelumnya, Gregor Samsa, dalam novel Kafka, telah menjadi kecoa. Tekanan pekerjaan telah merubah dirinya dari manusia menjadi serangga.

Gregor Samsa merambati dinding-dinding lembab yang gelap.

Nyaris seluruh orang telah menjadi Gregor Samsa kini. Menjadi kecoa.

Pekerjaan, relasi keluarga dan kerabat, biaya sekolah dan rumah sakit, uang bensin, harga makanan, ketakutan akan masa depan, telah menjadi tekanan yang membunuh.

Inikah yang dinamakan peradaban?



Agustus 2012

toha adog




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline