Lihat ke Halaman Asli

Cerai

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Naskah ini sudah pernah dipublikasikan di Jawa Pos, Minggu 6 Februari 2005. Ini adalah cerita fiksi pertama yang saya tulis dan setelah itu belum pernah menulis fiksi lagi.

Cerai

Oleh:
Badai Ekananda

"Hughes saja mau cerai..." Winda tak menjawab banyak ocehan rekan sekantor, seruang, sekaligus sahabat hidupnya, Neni. Tangan wanita cantik berlesung pipit itu tetap asyik memegang remote control teve 21 inchi yang menghiasi ruang kerjanya. Sesekali Winda membesarkan volume teve yang tengah menayangkan salah satu program infotainment ternama itu. Saat jeda iklan, Winda memindahkan ke channel lain, namun satu hingga dua menit kemudian kembali ke channel yang menayangkan infotainment tadi.

"Mereka kan selebriti, Win. Sementara kita hanya orang biasa. Bedalah, kehidupan para selebriti itu pasti lebih kompleks," tutur Neni.

"Ah, kamu belum pernah married sih. Bisanya ngomong doang, coba kalo udah ngalamin, baru tahu rasa," balas Winda.

"Selebiriti itu konsep dasarnya popularitas. Saat popularitas meredup, mereka cari segala cara untuk mendongkraknya kembali. Dan berita mengenai perceraian itu, salah satu cara aja." Kalimat Neni meluncur dengan nada agak keras, seraya mencoba menyembunyikan ketersinggungan sebagai wanita 35 tahun yang belum bersuami.

"Aku tidak menikah karena aku ingin berhati-hati Win, itu aja. Aku juga nggak mau kayak kamu begini, belum genap setahun menikah udah berpikir cerai."

Dering telepon menghentikan pembicaraan dua wanita eksekutif itu. "Press release-nya sudah saya siapkan, Pak. Bentar lagi wartawan pada ngumpul di sini. Press kit dan uang transport-nya juga udah beres, Pak. Saya segera ke lobi...."

Dengan tergesa Winda menyambar beberapa map di meja kerjanya, mengambil kamera digital cool pic, dan tak lupa merapikan rambut lurus sebahu yang tampak sedikit acak-acakan.

"Aku turun dulu, Nen. Tapi satu hal, sampai kapan kita para wanita ini menerima saja dunia yang patriakhi begini. Kita ini wanita mandiri, punya uang, kecantikan, segalanya. Bokap nyokap kita juga kaya. Tak selamanya kan wanita harus mengabdi kepada lelaki. Sebaliknya lelaki sudah waktunya mengabdi kepada istri. Dunia masih berputar kok kehilangan satu lelaki. Toh aku masih 27, masih banyak yang ngantri. Talk to you later..."
***
"Pokoknya cerai, titik!"
"Cinta, kamu emosional banget sih. Pikir dong yang jernih, masih banyak celah untuk memperbaiki hubungan kita ini."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline