Di era tahun 1999-2000 cukup booming perpustakaan mini yang dibangun secara mandiri oleh orang-orang yang peduli pada kelestarian budaya membaca. Perpustakaan mini ini tidak hanya untuk saya pribadi, melainkan saya membukanya untuk umum.
Saat itu saya baru duduk di bangku kelas 5 SD. Hobi membaca dan mengumpulkan buku membuat saya tertarik untuk membuka perpustakaan mini di rumah. Selain buku ada pula koleksi majalah bobo dan tabloid fantasi yang kala itu marak di kalangan anak-anak sekolah.
Mekanisme penyewaan buku di perpustakaan sekolah saya aplikasikan di perpustakaan mini yang ada di rumah. Mereka yang mau menyewa harus membuat kartu anggota yang bisa didapatkan secara cuma-cuma alias gratis. Kartu anggotanya juga dibuat cukup sederhana, hanya bermodalkan kertas karton yang dipotong segi empat seukuran KTP kemudian dilaminating.
Untuk anggota yang membaca di tempat, saya tidak pungut biaya, tapi jika bukunya dibawa pulang maka harus membayar 2000 rupiah. Dengan perincian 1000 uang sewa dan 1000 untuk deposit. Jika bukunya sudah dikembalikan maka uang deposit akan saya kembalikan juga. Jika menyewa lebih dari sehari, dikenakan biaya 500 per harinya.
Peminatnya kala itu terbilang lumayan. Ada yang tetangga sekitar rumah, ada pula teman-teman sekolah. Biasanya mereka justru lebih tertarik membaca komik dan majalah. Mungkin karena gambar-gambar ilustrasi membuatnya lebih eye catching. Ide ini akhirnya diikuti beberapa teman lain. Kemudian bermunculan 3-4 perpustakaan mini lain dengan koleksi buku yang lebih beragam.
Mulai duduk di bangku SLTP saya mulai tidak ada waktu untuk mengelola perpustakaan mini. Hal itu dikarenakan saya kebagian kelas yang masuk siang dari kelas 1-3.
Belum lagi tiap pagi dan weekend ada ekskul yang saya ikuti, sehingga tidak memungkinkan membagi waktu lagi dengan aktivitas lain. Ditambah menjamurnya warnet-warnet yang tentunya lebih menarik anak-anak usia remaja. Walaupun saat itu internet belum terlalu digunakan untuk mengerjakan tugas sekolah, tapi cukup banyak anak yang cenderung melarikan minat dari buku ke internet.
Hal itu dikarenakan internet menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar bacaan. Jujur, memang untuk sebagian orang, aktivitas membaca buku fisik cukup membosankan.
Melihat dari polanya, perpustakaan mini merupakan salah satu bentuk usaha sosialisasi literasi baca tulis yang dianggap sebagai nenek moyangnya literasi. Di perpustakaan, anak-anak bisa membaca apapun yang mereka suka. Semakin banyak koleksi buku yang tersedia, maka ketertarikan mereka mendatangi perpustakaan akan semakin besar.
Selain itu, membaca secara bersama-sama bisa menimbulkan euforia yang berbeda dari pada membaca sendirian di rumah. Ingat, anak-anak berbeda dengan kita yang sudah dewasa.
Jika kita senang membaca buku dalam situasi yang hening, mereka belum tentu bisa menikmati suasana yang sama. Pada hakikatnya anak-anak itu masih gemar bermain.