Sadeli baru pulang dari pasar, setelah membiarkan Welas, istrinya yang orang Jawa itu membeli segala isian dapur yang hampir 3 bulan tanpa ada aroma masakan.
"Malam ini akan kuberi jatahmu," katanya.
Terus terang, Sadeli tak terlalu menginginkan. Selama menganggur, Welas sama sekali tak mau disentuh, suami bagaikan barang haram yang tak boleh dipegang. Untung ada Sari, janda penjual jamu sepeda, perempuan semok bin montok itu sudah sering menggantikan posisi Welas di atas ranjang. Sari butuh kasih sayang, Sadeli butuh rasa senang. Kata anaknya yang kelas 3 SD itu namanya simbiosis mutualisme alias sama-sama untung.
Sampai di depan gang kumuh jalan masuk ke rumah, terlihat rumah Engkong Haji Jaja Rojalih sudah dipenuhi banyak warga. Bandar kontrakan itu akhirnya menutup mata.
Edi Rojalih, anak engkong yang paling tua terlihat paling sibuk di antara adik-adiknya. Pengangguran yang sebenarnya anak kesayangan bapaknya itu terlihat tabah, bahkan sempat senyum saat melihat Sadeli sempat berdiri agak lama di depan rumahnya.
Melihat makin banyak orang yang berkerumun, Sadeli mengajak Welas pulang.
"Buru, yuk. Demen banget lihat yang rame-rame!"
"Akhirnya mayatnya ketemu juga ya, Mas. Kasihan, masa tua bukan diberi kasih sayang malah ditunggu kapan matinya." ucap Welas sambil membereskan barang belanjaan.
"Makanya gue takut mati jadi orang kaya, anak-anak bukannya ngurusin gue malah rebutan harta gue," balas Sadeli sambil menghisap rokok kretek murahnya dalam-dalam.
"Didikannya kali yang salah, bukan nasibnya. Welas nggak mau Mas mati ninggalin utang pokoknya. Welas mau kayak bininya Engkong Haji, jadi janda kaya raya,"
"Iye ... doain aja."