Masih belia, energik, dan pekerja keras. Itulah Mario Situ Tukan, remaja 19 tahun asal Desa Bantala,Kecamatan Lewolema.
Di tengah kegetiran hidup yang terus melanda, Ia sudah merasakan kerasnya hidup dengan bekerja sebagai pemecah batu secara tradisional.
Ditemui di tempat Kerja, (27/10) dia begitu gesit dan cekatan memegang palu pemecah batu. Tatapan matanya tajam pada sebuah batu yang berdiameter kurang lebih satu setengah meter. Cukup besar. Beberapa pahat besi telah tertancap rapih pada bagian batu yang siap dibelah.
Terik mentari siang itu juga tidak menyulutkan hasratnya untuk menaklukan batu. Tak peduli legam dikulit akibat sengatan sinar mentari. Kedua tangannya yang berotot memegang erat tangkai palu, mengangkat tinggi-tinggi hingga melewati kepala dan menghujam dengan kerasnya pada pahat yang sudah ditancap.
Berulang-ulang kali ayunan palu menghantam kepala dari pahat besi itu hingga batu itupun perlahan-lahan retak membentuk garis bujur dan pecah menjadi beberapa bagian.
Ketertarikannya akan pekerjaan untuk memecahkan batu diawali pada tahun dua ribu tiga belas. Saat itu, Rio sapaan hariannya, melihat ada beberapa orang Jawa yang disewa orang di kampung untuk memecah batu.
Melihat itu Iapun mencoba memberanikan diri menyampaikan niatnya untuk bekerja sama dalam memecahkan batu. Niat itu pun diterima oleh orang Jawa dan bersama-sama bekerja kurang lebih dua tahun.
Kesan pertama yang dapat Rio sampaikan saat itu ialah heran namun ia percaya bahwa di balik itu ada nilai seni yang melekat.
Heran karena walau batu sebesar apapun bisa pecah berantakan dengan menggunakan tenaga manusia serta alat yang digunakan sebagai pendukung dalam pemecahan batu itu juga masih tradisional.
"Seni karena sebelum memecahkan batu hal pertama yang dilakukan adalah melihat urat atau arah dan kedudukan dari batu itu sendiri. Ini butuh kecermatan sehingga memudahkan kita dalam memecahkannya," ungkap Rio Tukan