Bahasa memiliki peran yang sangat fundamental bagi kehidupan manusia. Praktis, tanpa bahasa manusia tidak bisa berinteraksi dengan orang lain untuk beragam kepentingan. Dan yang paling buruk, ketiadaan bahasa akan mengerdilkan dan menghambat perkembangan kognisi manusia. Manusia juga diberi kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa untuk berbagai tujuan dan maksud, yang oleh Ernst Cassier menyebutnya animal symbolicum. Karena itu, bahasa dipakai sebagai sarana komunikasi dan alat mencapai tujuan. Ada berbagai bentuk ragam dan gaya bahasa yang kita jumpai dalam komunikasi.
Terutama dalam dunia politik, gaya bahasa sloganisme dan pragmatisme sangat dominan dipakai. Apakah yang dimaksudkan dengan gaya bahasa sloganisme dan pragmatisme?
Gaya bahasa slogan adalah cara mengekspresikan kata-kata dan kalimat dengan menarik dan mudah diingat. Ciri bahasanya sederhana, singkat, dan persuasife. Dalam ranah politik, pemakaian gaya bahasa slogan ramai digunakan menjelang Pilpres, Pileg, Pilkada, dan Pilkades. Pemunculannya selalu dikaitkan dengan momentum atau peristiwa politik tertentu. Misalnya, di baliho-baliho atau billboard yang dipasang di ruang publik penuh dengan bahasa sloganisme dari caleg, capres, cabup, dan cakdes. Sebagiannya ditayangkan di dunia maya, seperti Facebook, Instragram, dan Whatsapp.
Dalam beberapa bulan ke depan, kita akan menyaksikan bahasa slogan dalam desain baliho yang sangat variatif dan menarik. Bahasa slogan umumnya ditempatkan di bagian atas atau bawah foto dari caleg, capres, cabup, dan cakdes. Ada juga yang menempatkannya di bagian samping kanan atau kiri setelah gambar partai politik. Bahasa yang digunakan biasa bahasa Indonesia dan dikombinasi dengan bahasa daerah. Bentuknya bisa berupa ungkapan atau pernyataan. Tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian dan memengaruhi publik secara persuasif.
Kadang, ada juga yang provokatif. Secara ideologi, bahasa slogan menggambarkan visi,misi, pandangan, dan keyakinan dari para calon atau partai politik. Misalnya, bahasa slogan partai politik Nasdem "Politik Tanpa Mahar, Teruji dan Terbukti", Restorasi Indonesia, dan Bersatu Membangun Bangsa". Ketika publik membaca bahasa slogan ini, pasti pikirannya terpengaruh disertai harapan masa depan bangsa yang lebih baik. Slogan parpol PDIP "Kerja Kita, Kerja Indonesia" yang mengandung spirit revolusi mental. Tentu, masih banyak contoh bahasa slogan lainnya dan akan muncul lebih banyak lagi seperti jamur tumbuh di musim hujan pada pertengahan tahun 2023 hingga tahun 2024.
Pertanyaannya, apakah gaya bahasa slogan itu wajar, positif, atau negatif? Gaya bahasa slogan bisa dipandang wajar dan positif. Terlepas dari bentuk propaganda secara visual, pemakaian bahasa slogan berperan sebagai political branding dan rekognisi untuk memengaruhi persepsi publik tentang seorang kandidat. Karena itu, pemilihan kata dan konstruksi kalimat sangat penting. Gaya bahasa slogan merepresentasi kepentingan politik dari para kandidat atau parpol yang disebut pragmatisme.
Pragmatisme politik adalah menjadikan politik sebagai sarana untuk mencapai keuntungan dan kepentingan pribadi. Banyak kasus pragmatisme politik yang terjadi baik di tingkat lokal maupun nasional. Gaya bahasa slogannya indah, tapi tidak sesuai dengan perilaku orang atau figur. Misalnya, kasus korupsi, gaya hidup materialistis, dan hedonisme para politis berseberangan dengan bahasa slogannya. Dalam konteks ini, gaya bahasa slogan bisa negatif dalam arti membohongi publik. Contoh, empat tahun lalu sebuah bahasa slogan tertulis di baliho kandidat bupati "gerakan perubahan". Setelah terpilih dan memimpin, perubahan tidak ditemukan.
Gaya bahasa slogan tampak sederhana, tapi mengandung banyak teka-teki (big puzzle). Karenanya, kita perlu mencermatinya secara kritis. Jangan gampang terpengaruh apalagi terjebak gaya bahasa slogan dalam lanskap politik yang luas, penuh intrik, dan kepentingan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H