Bahasa Indonesia memang unik dengan beragam pilihan leksikon dalam konteks tuturan. Tepatnya, tanggal 29 Mei 2023 lalu, dilangsungkan pertemuan di istana negara dimana presiden Joko Widodo mengucapkan kata cawe-cawe di depan para pimpinan media dan podcaster nasional. Ucapannya seperti ini "ya saya untuk hal ini, saya harus cawe-cawe. Karena untuk kepentingan negara". Kata ini diucapkan ketika menjawab pertanyaan tentang capres dan cawapres di pemilu 2024 mendatang. Bahkan frekuensi pengucapannya ditemukan sebanyak tujuh kali menurut GM News dan Current Affairs Kompas TV (Kompas.com, 30/5/2023). Artinya, secara eksplisit beliau menunjukkan atensi dan keseriusannya dalam suksesi presiden pada pemilu nanti. Ucapannya serentak menimbulkan reaksi dan kontroversi di ruang publik. Penafsiran makna kata tersebut kental dengan motif politik dan kepentingan capres. Itu yang memantik diskusi di ruang publik menjadi panas. Pada saat yang sama, ada kecemasan politik menjelang Pilpres 2024 bagi kubu capres tertentu.
Pasca ucapan presiden Joko Widodo, kata "cawe-cawe" ramai didiskusikan di media sosial dan stasiun TV swasta seperti TV One dan Metro TV. Dua kanal ini yang sangat intensif menyiarkan debat panas terkait penafsiran maknanya. Belum lagi diberitakan di TV lain, media cetak, dan media sosial. Penafsirannya menjadi semakin luas dan beragam. Disitir dari KBBI, makna kata tersebut sangat jelas, yaitu membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan), dan ikut menangani. Semua makna yang disebutkan positif. Artinya, secara literal ucapan pak Jokowi mengacu pada salah satu makna tersebut. Tapi, dalam beragam perspektif politik, ada yang memahami makna kata tersebut negatif dan taksa. Kelompok yang berpikiran positif memaknainya sebagai bentuk tanggungjawab dan totalitas dari seorang presiden menjelang masa akhir jabatannya untuk membereskan pembangunan di semua aspek serta kontinuitasnya menuju lompatan negara maju tiga belas tahun ke depan. Demikian juga halnya dengan urusan Pilpres, perlu dipersiapkan dengan baik untuk menghasilkan pemimpin negara yang berorientasi visi pembangunan dan kemajuan saat ini. Kontras dengan kubu atau kelompok capres lain, mereka memaknai kata "cawe-cawe" secara negatif. Kata ini, dalam ucapan tersebut, dimaknai intervensi untuk mengontrol Pilpres dan konspirasi untuk kemenangan capres tertentu. Pemaknaan intervensi dihubungkan dengan status Joko Widodo sebagai presiden yang diduga berpotensi melakukan abuse of power, seperti menggunakan sumber daya dan fasiltas negara untuk memenangkan capres dukungannya. Penafisiran lainnya bermakna keterlibatan dan pengontrolan langsung presiden dalam Pilpres 2024 yang dapat mengagalkan capres dari kubu lain.
Secara kebahasaan, penafsiran makna kata "cawe-cawe" harus diletakan pada konteks penggunaannya. Setidaknya ada dua unsur penting yang perlu analisis untuk menafsirkan makna kata tersebut secara lugas, yaitu teks dan konteks. Teksnya adalah tuturan lisan yang dirangkai dengan kata dan kalimat. Sedangkan, konteksnya meliputi beberapa aspek, antara lain partisipan (penutur, mitra tutur, dan peserta lainnya), seting (tempat, waktu dan suasana), tujuan, alat , kaidah, dan lain sebagainya. Dengan menganalisis dua komponen kunci tersebut, interpretasi makna akan selaras dengan konteks, relevan, dan terarah. Tidak bias karena interese politik yang terselubung. Hemat penulis, banyak perdebatan terjadi di luar konteks yang sebenarnya. Akibatnya, muncul banyak spekulasi, manipulasi, dan prasangka. Pada saat yang bersamaan, perbedaan penafsiran yang tajam menimbulkan kecemasan politik.
Ucapan "cawe-cawe" pada Pilpres 2024 menyebabkan kecemasan politik bagi kalangan tertentu, yaitu intervensi dan penjegalan capres dari koalisi tertentu. Gambaran kecemasan akan adanya campur tangan presiden Joko Widodo dikemukakan oleh koalisi perubahan. Kubu capres Anis Rasyid Baswedan tak segan-segan menanggapinya dengan kritik dan kecurigaan tinggi. Upaya pembenarannya dilakukan dengan menghubungkan pertemuan presiden Joko Widodo dengan beberapa pimpinan parpol, di luar Nasdem, PKS, dan Demokrat. Argumentasi lain coba mengkaitkan perpanjangan satu tahun ketua KPK, Firli Baharui, untuk menangani kasus korupsi di parpol tertentu. Bahkan dalam sebuah konferensi pers, capres ARB mengutarakan kecemasan politik akan ketidak-netralan presiden pada Pilpres 2024. Argumentasi ini sengaja dibangun seakan-akan isu ini menjadi kecemasan publik. Kecemasan lain adalah adanya upaya penjegalan capres AB dengan mengkriminalisi parpol tertentu dalam kasus-kasus korupsi. Sikap dan pandangannya berseberangan dengan substansi makna kata cawe-cawe dalam ucapan presiden Joko Widodo. Makna kata tersebut coba ditafsir dalam konteks kepentingan politik dari kelompok atau golongan tertentu. Mengapa? Koalisi perubahan merasa khawatir jangan-jangan capres yang dijagokan akan gagal dengan melihat respon publik yang tidak signifikan; hasil survei terakhir menempatkan capres Prabowo pada posisi pertama, disusul pak Ganjar Pranowo, dan ARB diposisi buntut. Trendnya terus menurun.
Prinsipnya, tafsiran makna kata dan maksudnya tidak dapat dipisahkan dari konteks tuturan. Konteks melingkupi suatu tuturan yang didalamnya terdapat peristiwa tutur. Dalam perspektif ini, pemaknaan kata "cawe-cawe" bermakna negatif, seperti intervensi dan penjegalan. Sebaliknya, sesuai konteks tuturannya, presiden Joko Widodo bermaksud membereskan program kerjanya, termasuk persiapan Pilpres yang baik, dan ikut terlibat dalam menyiapkan Indonesia sebagai negara maju tiga belas tahun ke depan. Di balik kontroversi pemaknaan ucapan presiden Joko Widodo, ada upaya "framing politik" dan "scapegoating" dari kubu capres ARB. Dikatakan demikian, kata "cawe-cawe" yang diucapkan presiden dimanfaatkan sebagai momentum untuk menciptakan image publik yang negatif terhadap pemerintahan sekarang, yang pada gilirannya akan berdampak buruk pada elektalibitas dan popularitas capres dari parpol PDIP. Cara ini dianggap lebih efektif ketimbang menyuarakan kritikan kepada pemerintahan Joko Widodo. Argumentasi yang dikemukakan hanya sekadar lips service yang bertujuan memprovokasi publik. Di sisi lain, kontroversi dipakai sebagai politik kambing hitam. Manakala capres ARB gagal, maka yang disalahkan adalah pemerintahan sekarang, notabene kubu capres GP. Publik perlu mencermati situasi politik seperti ini dengan rasionalitas yang baik. Bagi penulis, Pilpres 2024 bukan sekadar menghasilkan presiden, melainkan menjadi taruhan bagi masa depan bangsa dan sistem demokrasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H