Letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan disatukan oleh wilayah perairan yang sangat luas, telah menjadi salah satu kekuataan Indonesia dalam segala hal. Oleh karena itu kecelakaan dilaut yang kerap terjadi, harus dikaji dari berbagai sudut keilmuwan, sehingga tidak dibawa-bawa kelompok tertentu menjadi issu politik yang subjektif dan tidak menyelesaikan substansi permasalahan.
Kecelakan dilaut yang kerap terjadi sejak zaman Soeharto (misalnya, kecelakaan Tampomas dll), SBY (misalnya kapal Larantuka dll), hingga sekarang ini kecelakaan kapal KM Lestari Maju, tragedi KM Sinar Bangun di Danau Toba merupakan persoalan yang harus dilihat secara objektif (keilmuwan) yang multidisipliner (dikatakan multidisipliner karena harus dikaji dengan lebih dari satu displin ilmu pengetahuan), karena faktor-faktor penyebabnyapun sangat beragam antara lain; faktor alam (cuaca/nasib), faktor keamanan dan keselamatan kerja (ship builder/ship owner/ship operator/SDM), factor hukum/regulasi (regulator), dan faktor sosiologis masyarakat (user).
Memandang sebuah fakta secara multidisipliner telah membuat Jokowi pun menggagas ide "Zero Accident" (tidak boleh lagi ada kecelakaan) dalam pidato tanggapannya (20/6/2018) . Ide tersebut merupakan ide bagus karena "manusia bukanlah barang dagangan (mercis appellation homines non continery)" yang hanya dijadikan sebagai objek bisnis, tetapi manusia harus ditempatkan sebagai subjek yang hak-haknya harus dipenuhi Negara, terutama tentang masalah keselamatan dan keamanan sebagai hak asasi.
HARMONISASI UU TTG PELAYARAN DENGAN UU NO. 23/2014 TENTANG PEMDA
Pidato tanggapan Jokowi atas peristiwa KM Sinar Bangun di Danau Toba yang intinya bahwa peristiwa seperti itu tidak boleh terulang lagi (zero accident), harus segera ditindak-lanjuti oleh Kementerian Perhubungan dengan mengharmonisasi dan mensinkronisasi UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Dengan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemda (pengganti UU No. 32 tahun 2004).
Kementerian harus mengkaji dan membuat aturan pelaksana yang sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan terkini yang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Di dalam aturan pelaksana tersebut diatur tupoksi antara Pemerintah Pusat, Pemrov, dan Pemda kabupaten/kota dalam tataran aplikasi.
Sebagaimana diketahui telah terjadi pergeseran spirit Desentralisasi UU No. 32/2004 dengan otonomi yang seluas-luasnya, menjadi Desentralisasi yang terukur hubungan yang harmonis pusat dan daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan), harus ditindaklanjuti oleh Kemenhub dengan mensinkronisasi UU No. 17/2008 berikut dengan aturan pelaksananya (PP,PM) yang sudah usang dibaharui dengan spirit UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemda.
Hal ini urgen, sehingga hukum tidak terseok-seok mengikuti perkembangan di masyarakat tersebut, serta terwujud tercipta ketahanan nasional dengan sistem transportasi nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran.
Hukum itu memang tidak akan pernah sempurna, tetapi dengan adanya reformasi secara evolusioner substansi perundang-undangan, diharapkan struktur (lembaga) dalam yang akan mengaplikasikan berhasilguna dalam penegakannya, termasuk akan merubah Kultur pola kerja yang menciptakan sistem transporasi yang aman dan berkepastian hukum. Karena hukum yang tidak sempurna lebih baik dari hukum yang tidak pasti (Melius est jus deficiens quam jus incertum).
STANDARISASI, PENGADAAN DAN DISTRIBUSI ALAT PELAMPUNG (LIFE JACKET) SECARA GRATIS OLEH NEGARA
Selain masalah substansi perundang-undangan, maka reaksi cepat yang harus dilakukan oleh Kementerian Perhubungan adalah dengan memastikan pembagian alat pelampung (life jacket) yang sesuai dan seragam dengan Standart Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS) kepada penumpang. Kementerian perhubungan tidak boleh menyerahkan masalah pengadaan keselamatan hanya kepada pengusaha (ship owner dan ship operator).