Kuatir dan Cemas Yang Satu itu Adalah Diri Saya
Kali ini saya terinspirasi oleh Puisi dari karya tulis pak Hendro Santoso yang diposting pagi ini. Saya baca ulang hingga 3 kali demi untuk memahami esensialnya. Walaupun saya tidak ikut berpuasa, tapi bagi saya, hidup ini adalah kesempatan untuk belajar dan setiap orang yang dijumpai dapat dijadikan guru.
Pada waktu hidup kami masih morat marit, yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana cara untuk dapat berusaha untuk mengubah nasib kami. Setelah nasib berubah, pikiran saya tertuju bagaimana agar saya bisa sukses sebagai seorang Pengusaha. Dan ketika usaha sudah sukses, terus apalagi? Setelah meraih sukses, kami ingin mewujudkan impian demi impian kami. Dan bersyukur Tuhan sudah membukakan jalan bagi kami, sehingga semua impian kami menjadi kenyataan.
Hasrat hati untuk mengunjungi 5 benua di dunia sudah terpenuhi. Menjelajahi seluruh Nusantara dari Sabang hingga Merauke juga sudah menjadi kenyataan. Selanjutnya impian untuk menjelajahi The seven wonders of the world juga sudah kami lakoni.
Apa Yang Sudah Saya Lakukan Dalam Perjalanan Hidup Ini?
Tetiba saja, setelah membaca puisi karya tulis dari pak Hendro Santoso, saya bagaikan terbangun dari mimpi dan menyadari bahwa hidup di dunia ini bukanlah semata mata untuk mereguk kenikmatan bagi diri sendiri, tapi sejauh mana hidup saya bermanfaat bagi orang lain? Karena sebaik baiknya orang adalah orang yang hidupnya bermanfaat bagi sesama. Apakah hidup saya sudah memberikan manfaat pada orang lain? Sejujurnya saya tidak dapat menjawabnya. Sehingga saat membaca kalimat "Seandainya semua orang masuk surga dan hanya satu orang yang tidak boleh" saya jadi terpikirkan "Siapakah orang yang satu ,yang tidak diizinkan masuk ke surga itu? Jangan jangan diri saya?"
Selama ini saya merasa diri saya baik baik saja atau setidaknya bukan orang jahat. Bahkan dengan berani saya ceritakan di media sosial bahwa saya sudah :
- menyumbang untuk anak yatim piatu di berbagai tempat
- menyumbang untuk korban gempa bumi di berbagai daerah
- menyumbang untuk korban banjir
- siap membantu tetangga yang membutuhkan ditengah malam
- dan seterusnya dan seterusnya.
Merasa bahwa diri saya sudah cukup baik dan sudah memenuhi ajaran agama yang saya imani Tetapi membaca kalimat di atas telah menghadirkan pencerahan bahwa yang memberikan penilaian akhir terhadap hidup bukanlah diri kita, melainkan Tuhan Yang Mahapencipta. Sebagai manusia, tak seorangpun yang berhak mengkapling surga untuk dirinya maupun untuk keluarganya.
Terima kasih kepada pak Hendro Santoso yang telah menginspirasi saya melalui puisinya yang indah
Burns Beach, musim gugur, Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H