Melepaskan Diri Dari Semua Kegiatan Pekerjaan ?
Wacana untuk bekerja dengan mengedepankan "Worklife "dan "Balance" kedengarannya memang sangat ideal dan sangat tepat. Tetapi itu menurut teori. Dalam praktiknya tidaklah semudah itu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Karena semuanya tergantung kondisi dan posisi kita dalam perusahaan .
Kalau kita mau berbicara sejujurnya, dalam kondisi ekonomi morat marit, dapat lowongan pekerjaan saja sudah sangat bersyukur. Sewaktu diinterview walaupun secara prinsip kita punya hak untuk menolak hal hal yang dianggap membebani kita terlalu berat,"in case of emergency" Yakni dalam kondisi ekonomi yang minus,kita tidak mungkin melakukan hal tersebut
Apalagi melakukan "bargaining" dengan Pihak Perusahaan. Kecuali kita memiliki Skill yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan, maka boleh jadi kita bisa "jual mahal" dan menentukan "Saya maunya begini dan saya tidak setuju begitu"
Tetapi bila diri kita hanyalah pencari kerja dengan skill standard, maka percayalah begitu kita mencoba melakukan semacam tawaran, maka biasanya Pihak Perusahaan tidak akan mau membuang waktu dan langsung bilang "take it or leave it" Tegasnya.
Bila dengan mengandalkan ijasah sarjana dan tidak memiliki Special Skill, percayalah kita bukan dalam posisi untuk melakukan "bargainning ". Jadi, kalau kita hanya mengandalkan ijazah semata mata,maka jalan terbaik adalah menerima apa yang sudah menjadi kebijakan perusahaan. Hasrat hati untuk mewujudkan idealisme dalam bekerja,ditunda dulu ,hingga kita memiliki pengalaman kerja yang dapat diandalkan dan menjadi selling point untuk melakukan bargaining terhadap perusahaan.
Kembali ke Judul
Bagaimana bila kita menekuni bisnis mandiri? Mampukah kita mengatur agar worklife and balance bisa berjalan secara seimbang? Secara teoritis bisa banget. Dengan asumsi kita yang punya perusahaan, masa iya nggak bisa mengatur waktu? Tapi sesungguhnya tergantung pada bisnis apa yang kita tekuni. Kalau bisnis buka bengkel cuci kendaraan atau buka toko dan lain semacam itu memang memungkinkan. Kita menentukan jam kerja mulai jam berapa dan ditutup jam berapa. Selesai. Tamu yang datang setelah jam kerja tidak dilayani titik.
Tapi tidak semua bisnis mandiri menempatkan Pemiliknya dalam posisi yang menentukan. Salah satu contoh adalah Perusahaan Ekspor. Justru disaat orang lain termasuk karyawan saya sudah bersantai ria dirumah bersama keluarganya, saya justru harus bekerja. Karena sebagai perusahaan Ekspor, saya berurusan dengan pembeli dari luar negeri. Kalau menjual ke Pembeli di Singapore sama sekali tidak ada masalah, karena selisih waktu hanya satu jam. Tapi justru Pembeli kami terbanyak berada di Amerika Serikat dan di Eropa yang jamnya berbeda berberapa jam
Pada masa itu sarana komunikasi adalah telpon dan telex. Tapi karena jual beli via telpon terlalu riskan, maka cara terbaik pada waktu itu adalah memilih tawar menawar dengan Pembeli via chatting dengan menggunakan Telex. Berdasarkan kesepakatan jual beli via telex, akan disusul dengan saling menanda tangani Sales Contract . Mengingat perbedaan jam antara Indonesia dan Eropa ,serta Amerika Serikat,maka mau tidak mau kita harus menyesuaikan waktu dengan jam kerja mereka.yakni melakukan transaksi jual beli diwaktu malam
Memutuskan Untuk Pensiun