Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014

Lulus dari University of Life, Kami Ukir Prasasti dalam Hati

Diperbarui: 24 Agustus 2020   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ket.foto: inilah wajah kami tempo dulu, yakni 50 tahun yang lalu (dokpri)

Tak Boleh Ada Seorang pun Keluar dari Rumah Kami Dengan Tangan Hampa

Tulisan ini bukan pamer kebaikan diri juga bukan untuk tebar pesona mencari popularitas diri murahan, melainkan semata mata berbagi sepotong kisah hidup.

Apa yang menyebabkan kami begitu peduli pada derita orang lain. Experience is the best teacher. Pengalaman adalah guru kehidupan yang terbaik dan semua pelajaran yang berhubungan dengan pernak pernik kehidupan tidak akan pernah akan didapat dari universitas beken manapun di dunia ini. Karena satu satunya tempat yang menjanjikan adalah Universitas of Life atau Univesitas Kehidupan.

Di mana kita bisa belajar banyak mata pelajaran ilmu kehidupan, antara lain:

  1. bagaimana rasanya hidup dalam kemiskinan
  2. bagaimana rasanya menjadi orang yang terlupakan
  3. bagaimana pula rasanya tidak diterima bertamu di rumah kerabat
  4. bagaimana rasanya selama 7 tahun tidak pernah ada undangan 
  5. bagaimana rasanya menyaksikan anak istri tergolek sakit,tanpa ada uang untuk berobat
  6. bagaimana rasanya ketika harus menebalkan kulit muka demi utang nasi bungkus
  7. bagaimana pula merasakan saat aliran listrik diputus karena 3 bulan tak mampu bayar tunggakan
  8. bagaimana rasanya meratap menyaksikan anak kejang kejang tanpa obat
  9. bagaimana rasanya nama kita dicoret dari daftar undangan hanya karena miskin
  10. dan seterusnya dan seterusnya

Berysukur Kepada Tuhan Kami Lulus Ujian di University of Life

Sejak berhasil lulus dengan selamat dari hidup melarat selama tujuh tahun atau setara dengan sekitar 2.300 hari, maka saya dan istri sudah mengukir prasasti dalam hati kami yang isi tulisannya adalah, "Jangan pernah ada orang yang keluar dari rumah kami dengan tangan hampa". Walaupun mustahil bagi kami menanggung beban hidup orang lain, tapi setidaknya sepiring nasi pasti mampu kami bagikan.

Itulah prinsip hidup yang selalu kami aplikasikan sepanjang perjalanan hidup sejak nasib kami berubah secara total setelah merasakan pahit getirnya hidup sebagai orang melarat selama tujuh tahun lamanya dan tinggal di pasar kumuh dan becek.

Putra pertama kami menjadi saksi hidup dari kisah ini. Dan bahkan hingga kini setiap kal ada kesempatan pulang kampung, putra kami Irmansyah Effendi selalu menitipkan sesuatu pada kami, "Papa mama mau ke Indonesia ya, titip ini untuk teman teman kita yang membutuhkan. 

"Maka setibanya di kampung halaman,kami selalu berkunjung ke Pasar Tanah Kongsi untuk bernostalgia dan sekaligus membagikan titipan dari putra kami."

Bukan Menjual Kemiskinan

Tulisan ini selain bukan untuk pamer diri juga bukan jualan kemiskinan, melainkan semata mata menyampaikan pesan, khususnya bagi yang hingga saat ini masih harus berjuang untuk mengubah nasib agar jangan pernah putus asa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline