Mungkin Generasi Mileneal Banyak Yang Belum Tahu
Saya dilahirkan di Padang, Sumatera Barat,pada tanggal 21 Mei 1943 dan pada catatan Akta Kelahiran saya, masih ditulis dalam bahasa Indonesia ejaan lama, bahwa saya dilahirkan jam 3.00 pagi waktu dai nippon.
Saya terlahir sebagai anak nomer 9 dari total kami 11 orang bersaudara. Ayah kami Sopir truk dan berasal dari kota Payakumbuh dan ibu kami lahir di Padang. Sebagai bayi yang baru lahir, tentu saja saya belum tahu apa apa tentang arti sebuah kemerdekaan. Tapi memori saya sewaktu sudah menjadi kanak kanak,masih tersimpan dengan sangat jelas.
Lantai rumah orang tua kami di daerah Pulau Karam ,tepatnya di Jalan Kali Kecil ,hanya semata dari tanah liat dan beratap rumbia. Dinding rumah terbuat dari bambu yang dianyam.
Belum ada listrik sama sekali .Hanya menggandalkan lampu minyak tanah .Untuk memasak, di tungku disusun batu bata dan kemudian setiap kali ibu saya mau memasak,tugas saya mencari kayu dan ranting kering ,untuk dibakar guna memasak nasi.
Kemudian mencari pucuk keladi dibelakang rumah,yang masih merupakan semak belukar. Kemudian memetik beberapa butir lada yang ditanam dihalaman belakang rumah dan oleh ibu saya diolah untuk menemani makan nasi Saya masih pakai celana monyet pada waktu itu dan belum bersekolah,walaupun sudah berusia 6 tahun.
Kondisi seperti ini bukan semata gambaran kehidupan keluarga kami,tapi merupakan kondisi rata rata hidup kami di kampung pada masa itu. Kalau lantai rumah sudah disemen dan atap dari seng,serta sudah punya sepeda,sudah dianggap orang berada pada masa itu.
Ular Berkeliaran Rumah
Karena masih dikelilingi semak belukar maka tidak mengherankan hampir setiap hari tampak ular melenggang melintas di depan dapur, Bahkan pernah ibu saya memungut ular di dapur, karena disangka ikat pinggang ayah yang terjatuh.Baru sadar, ketika : "ikat pinggang "tersebut tetiba bergerak. Langsung ibu saya melepaskannya dan syukur tidak dipatuk.
Rahasia Mengapa Ibu Kami Tidak Pernah Mau Makan Bersama
Setiap kali seluruh keluarga duduk di bangku yang terbuat dari batang kelapa yang dibelah, tidak sekali juga ibu kami duduk makan bersama dengan alsana sibuk di dapur.
Suatu hari saya kedapur sehabis semuanya usai makan malam,tampak ibu kami duduk di dapur dan makan kerak nasi ,yang dicampur satu sendok parutan buah kelapa dan garam. Kata ibu kami, "Sayang kalau dibuang,kerak ini enak" Tapi ketika saya coba. sama sekali tidak enak rasanya makan kerak. Saya sangat terharu, demi kami anak anaknya,ibu kami rela makan kerak selama bertahun tahun