Mohon Maaf Menjadi Tidak Berguna
Dalam perjalanan hidup ini, siapa yang berani mengaku bahwa dirinya tidak pernah berbohong? Tapi berbohong itu tentu harus diuraikan lebih lanjut, karena yang namanya berbohong basa basi yang tentu tidak termasuk dalam kriteria berbohong sesungguhnya. Misalnya ketika berada dalam lift, saat pintu lift mulai menutup seseorang tiba tiba masuk dengan cepat.
Saking terburu buru tanpa sengaja mengjnjak jari kaki kita dan kemudian sadar bahwa kakinya salah menyasar ke kaki orang lain, maka buru buru minta maaf sambil berkata, "Aduh maaf ya Om, sakit ya Om?" Maka dengan wajah yang diceria ceriakan, kita bilang "Ooo nggak apa apa bu".
Padahal jari kaki kita serasa remuk diijak oleh tubuh wanita yang berbobot 80 kg dan pakai sepatu hak tinggi lagi. Jelas satu kebohongan sudah terjadi,tapi pasti kebohongan ini tidak akan dicatat oleh malaikat.
Atau suatu waktu kita bertamu kerumah sanak famili dan bertepatan mereka lagi makan siang. Dan ketika ditanya "Sudah makan Om?" Maka langsung dijawab, "Oo barusan makan, terima kasih bu" Padahal perut sudak keroncongan, tapi menyaksikan kondisi keluarga yang dikunjungi sangat memprihatinkan, maka kita tidak tega merepotkan mereka. Lagi lagi sebuah kebohongan, tapi tentu yang dimaksudkan membohongi orang bukan tipe "bohong basa basi semacam ini".
Mengangkat Citra Diri Dengan Menuliskan Kebohongan?
Menulis itu gampang, semudah membalikkan telapak tangan kalau hanya sekedar asal menulis. Tapi yang paling sulit adalah mengontrol diri saat menulis.
Jangan sampai tergoda, demi mengejar hits atau demi mencapai HL. Nilai Tertinggi dan terpopuler, maka jari tangan gatel menuliskan suatu hal yang sesungguhnya kita tidak tahu sama sekali.
Dalam bahasa vulgarnya menuliskan suatu kebohongan karena bila sekali kita lepas kontrol bila kelak sadar dan minta maaf, maka percayalah, "Tidak ada maaf bagimu".
Mengapa begitu? Karena sekali kita menuliskan sesuatu yang bersifat hoaks entah demi apapun, maka walaupun kemudian kita edit ataupun kita delete sudah terlanjur tersebar. Karena dalam konteks ini,tidak ada celah "delete for everyone" Apalagi bila tulisan kita sudah di sharekan dimana mana dan bila kebohongan ini menyangkut ke ranah hukum, maka kita akan dihantui rasa bersalah sepanjang hayat. Sebagai salah satu contoh,silakan dibaca kutipan dari tulisan yang pernah saya publishedkan beberapa tahun lalu,yang sudah menjadi artikel abadi
Tjiptadinata Effendi di Kompasiana berjudul Lagi Lagi Gara Gara Ahok (Bukan Hoax) (http://www.kompasiana.com/tjiptadinataeffendi21may43/lagi-lagi-gara-gara-ahok-bukan-hoax_