Bukan Khotbah di Hari Minggu
Saya beragama Katholik tapi hingga berusia 77 tahun, walaupun tidak pernah absen ke gereja, kecuali sewaktu saya terkapar di berbagai rumah sakit, mulai dari Rumah Sakit Yos Sudarso di Padang, Rumah Sakit Mt.Elisabeth, Rumah Sakit Gleneagle di Singapore dan di Public Hospital di Wollongong New South Wales di Australia.
Selain dari itu, hujan badai dan banjir, saya tetap ke gereja, tetapi satu ayat dari ajaran agama saja hingga saat ini belum mampu saya terapkan seutuhnya. Dan saya tidak punya keberanian untuk membohongi Tuhan dan berlagak seakan akan saya adalah orang beriman. Ayat tersebut berbunyi:
Kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri
Entah sudah berapa ribu kali saya membaca ulang dan merenungi dalam dalam di hati, tapi sejujurnya sungguh saya belum mampu menerapkannya dalam perjalanan hidup saya. Kalau dibilang hidup berbagi, sudah sejak dulu saya terapkan yakni sejak hidup kami masih morat-marit. Membantu orang ketika diri sendiri sedang sakit, juga ok, tidak masalah, tetapi mengasihi orang lain, seperti mengasihi diri sendiri, sungguh belum mampu saya aplikasikan dalam perjalanan panjang hidup ini.
Belajar Hidup Berbagi Justru dari Putra Kami
Biasanya orang tua yang mendidik anaknya untuk peduli pada orang lain, tapi dalam pengalaman pribadi justru putra kami yang mengajarkan saya bahwa untuk membantu orang tidak harus menunggu bila ada kelebihan dana. Padahal pada waktu itu putra kami yang baru satu orang, yakni Irmansyah Effendi, belum genap 5 tahun.
Suatu senja, pintu kedai yang merangkap kediaman kami digedor orang dan ketika saya buka pintu ternyata seorang wanita tetangga kami datang sambil mengedong anaknya dengan hanya berselimut selembar plastik bekas. Padahal hujan turun dengan lebat. Sambil menangis, bu Upik minta pinjam uang untuk biaya berobat anaknya karena suami belum pulang dari rantau dan tidak ada uang sama sekali. Saya dan istri terdiam, sangat ingin membantu tapi yang ada cuma uang untuk modal jualan kelapa.
Putra kami diam diam masuk kekamarnya dan selang beberapa saat terdengar bunyi sesnuatu yang pecah. Saya langsung berlari ke dalam kamar dan mendapatkan putra kami sedang mengumpulkan uang tabungannya yang berserakan dari celengan yang terbuat dari tanah liat yang dipecahkannya.
Sambil mengulurkan tumpukan recehan dalam kaleng, putra kami berkata, "Papa mama, ini semua uang tabungan saya. Kita kasih ke bu Upik ya agar bisa obati anaknya."
Pada waktu itu, sungguh tidak kuasa kami menahan jatuhnya air mata. Betapa seorang anak yang belum genap 5 tahun sudah mengajarkan kami bagaimana hidup berbagi.Padahal uang tabungan tersebut adalah hasil kerja putra kami membantu membersihkan mengumpulkan sabut kelapa dan sudah ditabung berbulan bulan lamanya