Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014

Muda Berfoya-foya? Hari Tua Merana Sudah Menanti

Diperbarui: 2 Mei 2020   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: pexels.photo

Jangan Tunggu Hingga Semuanya Terlambat

Tulisan ini bukan mengutip petata petiti ataupun the wisdom words  dari sana sini,tapi sungguh sungguh merupakan pelajaran hidup yang saya serap selama hidup berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat. Saya bergaul dengan semua orang,tanpa memilah milah selevel atau tidak. Berteman dengan tukang kebun,dengan kuli bangunan ,hingga orang orang yang dikategorikan termasuk orang kaya atau orang beken.  Dari mulai Satpam yang berjumlah puluhan orang di Mediteranian Apartement dimana kami dulu tinggal.hingga yang berpangkat jenderal 

Kami berteman dengan orang yang hanya mampu mentrakir makan sepiring Sate Padang,seharga 10 ribu.hingga yang mentrakir kami tinggal di hotel berbintang,serta membiayai seluruh biaya transportasi selama di Mataram. Teman yang lain mengajak kami jalan jalan ke Kuala lumpur dan seluruh biaya perjalanan dan akomodasi ,kami dilarang mengeluarkan dompet. Nah,dari persabatan yang lintas tebal tipisnya dompet inilah saya belajar banyak tentang pelajaran hidup. 

Antara lain

Dan pelajaran hidup yang berhasil saya himpun adalah bahwa ada kriteria orang yang betah menjalani hidup yang monoton.50 tahun lalu hidup dengan jualan lontong dan cendol,hingga tahun lalu kami temui ,masih menjalani ritual yang sama.Tentu saja hal ini merupakan hak azasi setiap orang,untuk memilih jalan hidupnya. Dan tak seorangpun berhak untuk mengatur ngatur hidup orang lain.apalagi bukan anak cucu kita

Ada orang yang dulu numpang tinggal dirumah kami selama bertahun tahun,kelak ketika kami bertemu dalam satu penerbangan,ternyata duduk di kelas bisnis Keluar dari kursi empuknya dan berjalan kearah barisan ekonomi ,untuk menjalami kami. Ternyata sudah menjadi pengusaha beken di Jakarta .Kami ikut senang ,melihat orang yang dulu menumpang dirumah kami,kini punya rumah gedung di Jakarta,yang harganya miliaran rupiah. 

Tapi ada juga mitra bisnis kami ,yang dulu usahanya jauh lebih sukses dibandingkan kami. Namanya menjadi buah bibir orang sekota,karena dinilai sangat loyal dan siap mentraktir siapapun yang duduk makan bersamannya  ,Tapi tahun lalu ketika kami sempat pulang kampung,sudah melakukan Lockdown mandiri .Menurut istrinya yang menjumpai kami,suaminya sudah melakukan lockdown mandiri sejak rumah mewah mereka disita oleh bank dan mereka terpaksa pindah ke rumah kontrakan

Satu lagi,mantan Boss besar,yang dulunya dengan mudah menghamburkan ratusan juta rupiah untuk berfoya foya, 3 tahun lalu,kami temui sedang mengumpulkan kardus bekas di bilangan Kemayoran  Jakarta Pusat. Orang yang dulunya kaya raya,kini jadi pemulung 

Bukan Menertawakan Nasib Orang

Menertawakan kejatuhan orang adalah suatu hal yang sangat naif dan tercela.Tapi belajar dari apa yang terjadi atas diri orang lain,sangat penting di apalikasikan,agar jangan sampai terjadi atas diri kita. 

Saya sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri,bagaimana orang yang dulu gagah dan dikagumi orang karena kaya raya,kini bahkan mengangkat wajah untuk melakukan eyes contact saja,sudah tidak mampu.Karena itu,bagi yang masih muda dan berjaya, janganlah mabuk kesuksesan .Kalau sukses ya disyukuri,tapi hindari hidup berfoya foya,karena hidup menderita di hari tua ,sungguh membuat hidup sangat merana. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline