Memaafkan atau Membenci, Mana Yang Akan Dipilih?
Seingat saya ada lirik lagu yang berbunyi, "Madu di tangan kananmu, Racun di tangan kirimu. Mana yang akan kau berikan kepadaku?" Tapi tulisan ini tidak ada hubungannya dengan lirik lagu tersebut di atas. Karena artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi.
Pernah ada yang memberikan komentar, "Pak Tjip, mengapa hampir setiap tulisannya hanya menuliskan pengalaman pribadi? Mengapa tidak memilih topik lainnya?"
Nah, inilah salah satu kelemahan saya dari ribuan kelemahan lainnya, yakni tidak mampu menuliskan artikel berdasarkan pendapat para ahli. Maka dengan penuh rasa percaya diri.
Sejak awal menulis hampir seluruh artikel saya berbau cuplikan pengalaman pribadi. Antara lain adalah ketika tiba di persimpangan jalan hidup, yakni memilih, "membenci atau memaafkan orang yang sudah mengkhianati saya?".
Sempat Terbelenggu Oleh Rasa Amarah
Merasa dikhianati oleh sahabat baik sendiri, sehingga nama saya masuk koran dan wajah saya masuk TV bahkan nama saya sempat masuk DPO (Daftar Pencarian Orang ), sungguh menyebabkan rasa kemarahan membelenggu jiwa saya.
Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak bahkan hampir setiap malam mimpi buruk yang sama, yakni terperosok dalam lubang yang dalam. Saya bahkan tidak lagi berani berdoa karena dalam doa yang diajarkan dalam agama yang saya imani adalah:
"Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami". Jadi sudah ada patokan atau takarannya, kalau saya mau minta ampun atas dosa dosa saya, maka saya juga harus mampu memaafkan orang yang bersalah kepada saya. Tapi bila saya belum mampu memaafkan orang yang bersalah kepada saya, maka percumalah saya berdoa karena batasan sudah diberikan.
Pada Saat Saya Mampu Memaafkan, Sungguh Merasakan Kemerdekaan Hidup Yang Sejati
Setelah berjuang melawan diri sendiri, akhirnya saya mampu mengalahkan diri sendiri dan memaafkan sahabat saya yang sudah mengkhianati saya.
Ketika sahabat saya datang minta maaf dan memeluk saya dan saat saya membisikan, "Saya maafkan anda ", maka saat itu juga bagaikan belenggu yang merantai jiwa saya putus dan saya sungguh merasakan kemerdekaan sejati.
Sejak saat itu, saya bisa tersenyum, tertawa dan bisa makan enak dan tidur nyenyak. Hingga kini, saya bersyukur dapat menikmati hidup bebas bersama istri tercinta.
Bebas dari segala hutang piutang, bebas dari kartu kredit dan yang paling penting adalah bebas dari kebencian dan dendam. Sejak dari bangun pagi, kami nikmati kebersamaan kami dengan penuh rasa syukur.