Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Apakah Ada Orang yang Ditakdirkan Hidup Melarat?

Diperbarui: 12 November 2019   06:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ket,foto: ini salah satu rumah nelayan,di pinggiran kota Padang./ dokumentasi tjiptadinata effendi

Sejujurnya ,Saya Tidak Bisa Menjawab

Hingga saat ini,usia saya sudah melalui angka 76 tahun dan kalau Tuhan  mengizinkan akan terus melangkah ke angka 77 tahun dan selanjutnya.Merupakan rasa syukur yang tak berkesudahan,saya dan istri ,dalam usia yang sudah melewati tiga perempat abad,tetap diberikan kesehatan lahir batin yang prima. Tapi hidup tentu tidak semata dihitung dari angka.Ada hal lain,yang justru tak  kalah pentingnya,yakni hingga sejauh ini,apakah hidup saya ada manfaatnya bagi orang lain? Seperti kata peribahasa :" Nilai dari sebuah pidato,tidak tergantung pada panjangnya,tapi pada esensial yang disampaikan"Begitu juga ,hidup baru berarti,bila bermanfaat bagi orang lain. Tapi dalam perjalan hidup ini,ada pertanyaan yang belum saya temukan jawabanya,yakni :"Apakah ada orang yang memang ditakdirkan hidup melarat seumur hidup?"

dokumentasi pribadi

Untuk Menyaksikan Kemiskinan Tidak Usah Keluar Negeri

Kita banyak membaca berita tentang kelaparan dan kemelaratan di Afrika,tentang melaratnya hidup di berbagai negeri lainnya,sehingga tanpa sadar kita jadi terlena,bahwa sesungguhnya orang miskin itu ada disekitar kita.Bahkan tidak tertutup kemungkinan,malahan tetangga kita .Ketika ada kesempatan pulang kampung, saya menyempatkan diri untuk singgah ke gubuk nelayan,yang hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat kota Padang yang kini semakin megah.

Di balik gubuk yang sudah reyot dan tak layak huni,ada kehidupan disana,yakni nelayan bersama keluarga mereka. Sesak rasanya dada kita,menyaksikan kulit mereka yang kering dan gersang tersengat sinar mentari setiap hari dan wajah wajah yang jauh lebih tua daripada usia mereka sesungguhnya

Sebebal apapun perasaan seseorang,pasti akan terbit rasa iba,menyaksikan kehidupan mereka. Hidup di gubuk yang hampir roboh dan di halamannya tergenang air,sudah merupakan hal yang sangat biasa bagi mereka. Bau amis ikan yang dijemur di depan gubuk mereka,sudah tidak lagi dirasakan,karena sejak dari masih di buaian,mereka sudah bernafas dengan udara yang berbau amis 

ket.foto : dokumentasi tjiptadinata effendi

Di sana  ada potret kemiskinan dalam bentuk nyata ,yang menyadarkan kita,bahwa  kemiskinan itu tidak memilih suku bangsa,warna kulit dan latar belakang agama.Mereka itu hidup turun temurun disana.Sejak saya masih kecil,hingga kini berusia tiga perempat abad,tapi nasib mereka masih seperti itu. 

dokumentasi tjiptadinata effendi

Saya bersyukur,bahwa setelah menjalani hidup dalam kemelaratan dalam arti yang sesungguhnya.,sehingga sandal jepit putus,hanya disambung dengan peniti,karena tidak mampu beli. Semua barang pribadi,termasuk cincin kawin,jas yang digunakan sewaktu menikah dan seluruh perhiasan istri sudah terjual habis ,hanya untuk mampu bertahan hidup. Bahkan ketika putra kami kejang kejang,kami hanya bisa meratap kepada Tuhan,karena tidak ada manusia yang peduli kepada kami pada waktu itu. Sanak famili dan teman teman menjauh. Tapi bersyukur ,setelah tujuh kali 365 hari kami hidup menderita lahir batin,Tuhan membukakan jalan dan nasib kami berubah total.

Tapi mengapa,ada orang yang turun temurun masih saja hidup dalam kemelaratan ? Apakah ada orang yang turun temurun ditakdirkan harus hidup menderita? Sejujurnya,hingga saat ini saya tidak mampu menjawabnya. 

catan kecil:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline