Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014

Modal Usaha Dipakai agar Anak Studi di Luar Negeri, untuk Apa?

Diperbarui: 4 Mei 2018   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto :dokumentasi pribadi

Tulisan ini bukan usil mau ikut campur urusan keluarga orang. Yang empunya uang, tentu saja bebas  mau menggunakan harta dan uangnya, sesuai dengan kemauannya. Mau digunakan untuk menyekolahkan anak keluar negeri demi menjaga image, atau karena ingin berbuat adil terhadap anak-anak, tentu sepenuhnya menjadi hak setiap orang.

Akan tetapi, seperti kata pribahasa: "Life is to share", hidup adalah untuk berbagi. Berbagi tidak musti dalam arti bagi-bagi uang atau bagi-bagi nasi bungkus. Juga tidak dalam konteks bagi-bagi kaus, jelang Pilkada atau Pilpres. Melainkan berbagi kisah kisah hidup.

Bagi kisah hidup yang kita  alami sendiri maupun kisah hidup orang di sekeliling kita. Bukan hanya tentang sebuah kesuksesan, tapi juga berbagi kisah tentang mengapa orang yang mengalami kegagalan demi kegagalan dalam hidupnya. Setidaknya dengan berbagi kisah-kisah yang menyirat pesan moral di dalamnya, diri kita sudah ikut andil dalam memberikan masukan yang mungkin saja berguna untuk orang banyak.

Belajar Dari Kegagalan Orang Lain

Ketika ketiga tiga anak kami melanjutkan studi mereka di Amerika Serikat, ada beberapa di antara teman-teman bisnis saya yang bertanya gimana caranya dan berapa besar biaya menyekolahkan anak dil uar negeri hingga selesai? Tentu saja dengan senang hati saya sampaikan semua data hingga sedetail mungkin.

Tak lupa saya sampaikan bahwa uang yang kami gunakan adalah uang yang dikumpulkan dari sebagian keuntungan perusahaan. Kami tidak memakai cash flow perusahaan untuk membiayai anak-anak studi di luar negeri. Saya sampaikan hal ini karena  ada yang baru dua tiga tahun mulai berusaha, kalau ia memakai modal perusahaan untuk membiayai anaknya keluar negeri hanya karena tidak mau kalah dari saya. Tentu amat disayangkan. Namun di sisi lainnya tentu saja saya tidak dalam kapasitas untuk melarangnya walaupun teman sesama bisnis

Ternyata Kekhawatiran Saya Terjadi

Pada waktu itu rata-rata teman bisnis kami menyekolahkan anak-anak mereka di luar negeri. Caranya adalah dengan menambah kredit bank agar perusahaan dapat terus berjalan, walaupun dana segar atau modal sendiri sudah habis terpakai untuk membiayai anak-anak ke luar negeri. Secara otomatis, beban perusahaan semakin berat. 

Kalau sebelumnya, modal sendiri  sekitar 70 persen dan ditambah pinjaman dari bank sebesar sekitar 30 persen, tidak menjadi  masalah. Sebab bunga uang yang harus dibayarkan untuk kredit sebesar 30 persen dapat "tercover" dengan adanya "dana segar" sebesar 70 persen. Akan tetapi semenjak mereka menggunakan hampir seratus persen  modal dari kredit bank, maka beban perusahaan tidak tertutup oleh keuntungan perusahaan.

Akibatnya sudah dapat diramalkan, perusahaan hanya mampu bertahan selama dua-tiga tahun dan kemudian ambruk. Sedangkan anak yang disekolahkan di luar negeri terpaksa dipanggil pulang karena ketiadaan dana, walaupun belum selesai studinya.

Akhirnya dalam waktu bersamaan terjadi "double fail" atau kegagalan ganda, yakni perusahaan colaps dan anak putus sekolah. Perjalanan hidup tidak terhenti hingga di sini. Seluruh pinjaman harus dikembalikan berikut bunganya. Dan karena tidak mungkin lagi membayarnya ,maka satu persatu aset pribadi dijual. Dimulai dari kendaraan dan barang bergerak, hingga rumah tempat tinggal juga harus diikhlaskan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline