Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014

Jangan Abaikan Unjuk Rasa Anak-anak Kita

Diperbarui: 9 Februari 2018   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://depositphotos.com

Akan Jadi Bom Waktu Dalam Keluarga

Unjuk rasa tidak selalu harus bersifat demonstratif seperti  memasang spanduk dengan slogan-slogan mencolok, serta ramai-ramai turun ke jalan raya. Unjuk rasa dapat saja terjadi secara diam-diam, dalam kehidupan berumah tangga. Ada anak-anak yang kalau keinginannya tidak dipenuhi akan menangis atau berargumentasi dalam bahasa yang tidak santun terhadap orang tua.

Namun ada juga cara lain bagi anak-anak untuk menyampaikan unjuk rasa secara santun dan diam-diam. Hal inilah yang paling banyak diabaikan orang tua. Anak diam, maka orang tua sudah lega bahkan bangga karena anak-anak patuh kepada orang tua. 

Padahal situasi seperti ini akan sangat merusak hubungan antar keluarga. Merasa harapannya atau hasrat hatinya sama sekali tidak dihiraukan oleh orang tua dan tidak mendapatkan penjelasan yang memadai, akan merasa bahwa percuma saja ia berkomunikasi dengan orang tua. Maka anak memilih untuk berdiam diri. Sikapnya yang biasanya ceria tiba tiba berubah menjadi pendiam. Pulang sekolah mengucapkan selamat siang terus masuk kamar dan tidak lagi mau duduk di ruang keluarga.

Bila hal ini diabaikan maka selanjutnya apapun masalah yang menimpa dirinya tidak akan diceritakannya kepada kita sebagai orang tua. Untuk sementara mungkin ada orang tua yang merasa lega karena tidak lagi dirongrong dengan beragam masalah oleh anak-anak mereka.

Ibarat Menyimpan Bom Waktu

Sesungguhnya hal ini ibarat menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak dan memporak-porandakan seisi rumah. Ada begitu banyak contoh yang terjadi di sekeliling kita. Anak yang di rumah sangat patuh dan santun, secara tiba-tiba tertangkap melakukan tindakan kriminal. Atau gadis yang selama ini dianggap alim dan pendiam, tiba-tiba hamil di luar nikah. Atau "anak papa mama" di rumah, tiba-tiba terlibat perkelahian yang membawa maut.

Hal ini disebabkan karena rasa tidak puas dalam dirinya. Merasa tidak  "diorangkan" dalam keluarganya, maka lama-kelamaan berakumulasi d0an meledak dengan cara yang sama sekali tidak pernah diperkirakan. Kalau hal ini sampai terjadi, maka tidak sepenuhnya kesalahan anak melainkan andil dari sikap orang tua yang mengabaikan silent protest dari anak-anak mereka.

Biarkanlah Anak Berargumentasi

Karena itu didiklah anak untuk berinteraksi dengan kita selaku orang tua mereka. Tidak masalah anak-anak berargumentasi dengan kita. Lupakanlah cara dan gaya feodal. Seakan orang tua itu harus ada jarak dengan anak-anak. Di zaman feodal kalau orang tua berbicara anak harus patuh dan tidak boleh mengutarakan isi hatinya. Pokoknya setiap kata yang keluar dari mulut orang tua adalah perintah yang harus dipatuhi. Hal ini sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan.  Dengan merawat komunikasi yang baik dengan anak anak, maka mereka akan bersifat terbuka kepada kita.

Hal ini kami buktikan hingga kini anak-anak kami sudah memiliki keluarga masing-masing. Namun hubungan kami masih seperti dulu. Terkadang saya main drone bersama putra kami yang sudah berusia 52 tahun. Ikut kompetisi menangkap abalone bersama, camping bersama putri kami yang anaknya sudah duduk di universitas. Kami makan bersama sambil bercanda-canda dengan putra kami di Jakarta. Hubungan  dengan putra-putri kami bukan sekadar hubungan basa basi melainkan hubungan antara anak dan orang tua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline