Lebih Baik Tanpa Sepatu,Ketimbang Tanpa Kaki
Kalau kita mendengarkan ciloteh di kedai kopi ,di antara para sopir taksi,sopir bajay dan pekerja kasar ,pada umunya intinya adalah :"Susah cari makan. Gaji hanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Bahkan sudah dua kali hari Raya,sepatu anak istri belum dapat diganti yang baru"
Secara pribadi,kisah ini adalah kisah usang,yang sudah basi dan sama sekali tidak tertarik mendengarnya.
Mengapa? Karena sejak saya masih di Sekolah Rakyat,yakni tahun 50 an,saya sudah mengalaminya. Jalan kaki kesekolah,yang jaraknya lumayan untuk ukuran anak SD. Sepatu disimpan didalam tas,yang terbuat dari bekas karung terigu,yang dijahit oleh ibunda tercinta alm. Sepatu ini,berhimpitan dengan sepotong ubi rebus ,yang diambil dari kebun dibelakang rumah.
Setibanya di depan pekarangan sekolah,baru sepatu dipakai. Dan ketika sekolah usai dan murid murid boleh pulang,maka kembali sepatu saya simpan di dalam tas dan berjalan dengan kaki telanjang. Menelurusi jalan jalan ditengah kuburan,untuk mengambil jalan pintas.
Mengharapkan Sepatu dari Sinterklas
Setiap kali bulan Desember tiba,maka seperti juga anak anak lainnya,saya sibuk mencari rumput yang terbaik ,untuk diletakkan di depan pintu.Sambil berharap ,semoga ketika bangun pagi keesokan harinya,ada sepatu baru di hadiahkan Sinterklas.Tapi bertahun tahun,impian tersebut tetap merupakan impian kosong.
Setiap tahun,bilamana tali sepatu sudah kependekan,maka hanya disambung talinya,dengan ujung kulit sepatu yang dibuang di tong sampah tukang sepatu di pondok. Jujur,sebagai seorang anak SD, saya sedih,mengapa anak anak lain,setiap tahun berganti sepatu baru,bahkan ada yang dalam setahun sampai tiga kali mengganti sepatunya.
Kisah Motivasi Yang Tetap Relevan
Belakangan ini,saya mendapatkan kiriman WA yang isinya menceritakan,bahwa seorang anak ,marah marah dan ngambeq kepada orang tuanya,karena tidak dibelikan sepatu baru. Tapi ketika dijalan ia bertemu dengan seorang anak yang kakinya buntung,baru ia sadar diri .Berlari pulang dan minta maaaf,kepada ayahnya ,dengan mengatakan :"Ayah,saya lebih senang hidup tanpa sepatu,daripada hidup tanpa kaki"
Kisah ini sudah ada sejak hampir satu abad lalu,tapi tetap uptodate untuk dijadikan motivasi
Agak terpana saya membacanya,karena sesungguhnya hal tersebut adalah sepotong kisah hidup saya,ketika saya berusia 10 tahun,yakni tahun 1953. Pada waktu itu ,saya minta sepatu baru untuk hadiah kenaikan kelas.Tapi ayah saya mengatakan,belum ada uang untuk membeli sepatu baru.
Saya sangat kecewa,karena cuma minta sepatu saja tidak dapat.
Ngambeq dan seharian mogok tidak mau jualan telur asin,sebagaimana biasanya.Tapi ketika saya berjalan keluyuran untuk menghilangkan kesedihan,saya bertemu dengan anak sebaya saya,yang kakinya buntung sebelah. Saya kaget dan sadar diri,bahwa beruntunglah saya,hanya hidup tanpa sepatu baru,daripada hidup tanpa kaki.
Nah,kisah ini ternyata ditulis ulang,pada kejadian yang berbeda tempat dan waktunya,namun intinya senada.Yakni :"Ketika kita merasa hidup kita paling susah,tengoklah kebawah,disana ada jutaan orang yang hidupnya jauh lebih melarat dibandingkan kita. Jangankan beli sepatu,untuk makan saja,mereka harus mau menampung sisa sisa makanan di restoran.
Kita Bisa Memilih Makanan,Sementara Orang Lain Menantikan Sisa Makanan Kita
Kami pernah makan di pantai Losari di Makasar. Ketika sedang menikmati nasi dengan lauk ikan bakar,datang 3 orang anak anak berusia sekitar 8-10 tahun. Mengatakan kepada istri saya:"Bu,kalau ada sisanya,boleh kami minta bu?"
Kami terenyuh menyaksikan anak anak ini. Istri saya tentu tidak tega memberikan mereka sisa makanan kami.maka memesan satu bungkus dengan lauknya untuk mereka.Ternyata mereka benar benar lapar,karena begitu menerima bungkusan nasi,mereka langsung duduk dan berebutan makan.Dalam waktu singkat,tak sebutirpun nasi ketinggalan di bungkusan.
Menengok mereka makan ,pikiran saya menerawang jauh kemasa silam dan dapat merasakan keperihan hidup ,terlahir dari keluarga melarat. Bersyukur.kini kami dapat menikmati hidup layak,namun setiap kali ada kesempatan,tentu kami tidak akan menjadi seperti kacang lupa pada kulitnya.
Kita wajib berusaha,agar hidup kita dan keluarga semakin membaik,tapi sementara itu selalu menyukuri apa yang sudah ada.Karena itu orang yang mengisi hidupnya setiap hari dengan berkeluh kesah berkepanjangan,sesungguhnya adalah ujud ,kurangnya rasa syukur.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H