Sejak masa dulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah. Peramah, santun dan suka menolong orang lain. Kalau kita jalan ke kampung kampung selalu ada sapaan hangat "Kamaa pai angku? Singgahlah dulu" (mau kemana pak ? Mari singgah sebentar). Tak ada syak wasangka, tak ada lirikan curiga dan sama sekali tak menunjukkan rasa was-was atas kedatangan kita.
Walaupun rata-rata kehidupan di kampung boleh dikatakan sangat pas-pasan, tidak ada meja makan yang layak bahkan kamar mandi hanya terbuat dari beberapa lembar seng bekas. Mandi menggunakan air sumur atau air pincuran secara bergantian. Tapi disana ada damai dan penuh keramahan. Tidak salah bangsa kita mendapatkan predikat "Bangsa yang Peramah". Tapi itu kisah lama, kisah itu sejak belakangan ini mulai berubah warna dan arah. Perubahan drastis ini sangat dirasakan bila kita berada di kota kota besar.
Mari kita hitung sejak dari mulai keluar rumah di pagi hari melakukan aktivitas, bekerja, mengajar ataupun kegiatan lainnya hingga di malam hari tiba lagi di rumah, berapa kali kita mendapatkan sambutan "Selamat pagi " atau mendengarkan kata "Permisi" maupun kata "maaf" serta "terima kasih?"
Kalau kita mau jujur dan tentunya kita harus bersikap jujur, jawabannya adalah bisa dihitung dengan jari sebelah tangan atau mungkin saja, kata-kata tersebut sudah sirna dari negeri kita?
Pengalaman Pribadi
Selama pulang ke Indonesia dan tinggal di apartement mungil kami di Mediterania Boulevard sudah teramat jarang sekali mendapatkan ucapan selamat pagi. Kami yang selalu mengawali dengan mengucapkan "Selamat pagi Pak, Bu atau Mbak /Mas". Itupun membuat orang agak tercengang, serasa aneh mendengarkan kami mengucapkan selamat pagi. Bahkan berada dalam satu lift dan wajah hanya berjarak 20 cm, tidak jarang kami batal mengucapkan kata kata bertuah "selamat pagi" tersebut, karena menengok wajah yang murung atau pasang tampang angker. Justru yang selalu menyapa adalah orang-orang asing yang banyak domisili di sana.
Dulu sebelum menetap di Australia banyak tulisan yang negatif tentang penduduk disini, misalnya kata-kata sekuler, individualis, egoisme dan sebagainya, tapi justru setelah tinggal disini selama lebih dari 10 tahun dengan rasa sedih dan heran, saya merasakan kok bangsa yang sekuler, egois dan individual ini justru membuktikan mereka adalah bangsa yang ramah?
Setiap pagi, begitu keluar dari pintu rumah, tetangga kami dari seberang jalan sudah melambaikan tangannya sambil berucap "Good morning, how are you?". Sebuah sapaan tulus yang sama sekali tidak berdasarkan kepentingan apapun. Naik ke bus untuk menuju ke Joondalup Train Station, supir bus dengan senyum mengucapkan "Good morning" dan ketika kami turun mendapatkan ucapan " Have a nice day". Ucapan yang sangat biasa, tapi menyejukkan hati. Mungkin saking lamanya, telinga tidak mendengarkannya di negeri sendiri.
Quo Vadis Negeri Tercinta Kita?
Kalau ada yang mengritik negeri kita, langsung kita marah, berang dan naik pitam. Merasa terhina, merasa dilecehkan. Dan kalau ada orang yang menceritakan tentang sesuatu yang baik dari negeri orang, bersiap siaplah untuk mendapatkan stempel "A -nasionalis -sudah kehilangan rasa cinta bangsa- antek antek aseng dan seterusnya dan seterusnya"
Mengapa kita tidak mau membuka mata dan bercermin dir? Menyaksikan kemarahan dan saling menghujat di depan mata sendiri, mendengarkan, membaca lewat main stream maupun medsos dan menyaksikan berbagai tayangan di televisi bahwa memang kita sudah berubah menjadi bangsa yang pemarah. Ataukah kita sudah memiliki falsafah "Right or wrong, this is my country!" Salah atau benar ini adalah negeriku, kalau kamu tidak suka, keluar dari sini dan pergi tinggal dinegeri dimana kamu merasa nyaman!