keterangan foto: inilah kedai,dimana dulu saya jual kelapa dan tinggal disana,pada tahun 1970 bersama anak istri selama bertahun tahun. Disamping kanan,yang tampak ada gambar petai tergantung adalah tempat tinggal ONE wanita yang berasal dari Pariaman
Tanah Kongsi-Sejarah Urgensinya Pasar Rakyat, Sebagai Sarana Alkulturasi Anak Bangsa
Pasar Tanah Kongsi, tidak hanya dikenal oleh masyarakat kota Padang, tapi boleh dikatakan oleh hampir seluruh warga yang berasal dari Sumatera Barat. Lokasinya,dapat dicapai melalui beberapa jalan, Yakni dari Pondok dan Kampung Tionghoa, yang kemudian berubah nama menjadi Jalan Niaga. Jalan lain adalah dari jalan Kali Kecil melalui jalan setapak dipinggir kali.
Sejak masih kecil, sepulang dari sekolah,saya selalu ke Pasar Tanah Kongsi ini, untuk bantu bantu ayah saya alm, yang berjualan barang barang kebutuhan pokok. Hingga dibelakang hari, saya yang menggantikan dan tinggal bersama istri dan putera kami yang baru 1 orang pada waktu itu.
Sejak dari Sekolah Rakyat, saya sudah menyaksikan dan merasakan,bahwa pasar ini merupakan tempat orang Minang ,yang beragama Islam dan orang Tionghoa,yang beragama Khong Hu Cu .Budha atau Katolik. Pada masa itu, Pasar Tanah Kongsi ,merupakan percontohan bagi masyarakat,bahwa tidak semua orang Tionghoa itu kaya. Dalam kata lain,kalau mau tengok contoh orang Tionghoa yang melarat,maka tidak usah jauh jauh ke Bagan Siapi Api ataupun ke Singkawang. Cukup pergi ke Pasar Tanah Kongsi dan temukan,bahwa 99 persen orang Tionghoa yang tinggal disana adalah Tionghoa bokek.
Yang dapat dikatakan hidup memadai,tinggal di daerah Pondok atau Kampung Tionghoa atau di Sungai Bong.
Dua Budaya Ber Alkulturasi
Disini ,merupakan tempat bertemu dan berinteraksinya dua budaya yang berbeda,termasuk juga berbeda dalam hal agama.Yaitu orang Tionghoa dan Orang Minang. Bukan hanya pertemuan basa basi,tapi berinteraksi setiap hari dalam hal berbisnis ,barang barang kebutuhan hidup.
Uniknya,yang berjualan disini adalah perpaduan dari orang Minang dan Orang Tionghoa,sementara Pembelinya juga berdatangan dari dua budaya yang berbeda.Masing masing membawa gaya bahasa dan tata cara hidup yang berbeda,namun sejak dari ayah saya berjualan disini,hingga dibelakang hari ,kami tinggal disini,belum pernah sekali juga bertengkar.Apalagi sampai mendengarkan kata kata "Cina lu "
Mungkin karena merasa senasib dan sepenanggungan,maka kondisi ini menjadi salah satu faktor memuluskan berlangsungnya alkulturasi antara Minang dan Tionghoa.
Akulturasi dapat diterjemahkan secara bebas,sebagai suatu proses sosial yang berlangsung,ketika dua kelompok yang berasal dari komunitas berbeda,bertemu dan berinteraksi,bahkan tinggal bersama selama belasan tahun.Saling menerima dan menghargai ,tanpa kehilangan jati diri masing masing.