Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014

Jangan Sampai Kehilangan Marwah Diri

Diperbarui: 30 Desember 2016   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: thebeijinger.com

Kehormatan diriatau disebut sebagai martabatmaupun marwah bukanlah berdasarkan kekayaan, pangkat ataupun titel yang disandang oleh seseorang. Karena sesungguhnya setiap manusia pada hakekatnya memiliki kehormatan diri sesuai dengan harkat manusia itu sendiri. Peringkat kehormatan terbentuk oleh perilaku kita sendiri, misalnya walaupun usia saya sudah hampir tiga perempat abad tapi kalau perilaku dan tutur kata yang saya tampilkan sama sekali tidak menunjukkan bahwa diri saya memang patut dituahkan atau dihormati, maka berarti saya sudah kehilangan kehormatan diri atau dalam kata lain, saya sudah kehilangan marwah sebagai seorang tua dan tidak layak lagi disejajarkan dengan para orang tua lainnya. 

Sebutan pelajar, mahasiswa, guru maupun panggilan lainnya, membuktikan bahwa setiap orang memiliki ruang dan tempat di dalam masyarakat yang memberikan penilaian-penilaian terhadap diri kita tentunya orang lain. Sebuah panggilan kehormatan, sesungguhnya merupakan sebuah apresiasi dari orang yang memanggil atau menyebut kita dengan sebutan kehormatan. Seiring dengan kehormatan sekaligus merupakan alaram yang mengingatkan kita agar jangan sampai panggilan kehormatan tersebut kehilangan marwahnyaa kibat sikap dan perilaku kita yang sama sekali tidak mencerminkan akhlak, sesuai sebutan kehormatan yang diberikan kepada kita.

Peristiwa inilah yang belakangan ini bertaburan dimana-mana. Orang yang mendapatkan sebutan sebagai orang yang dihormati dan dimuliakan masyarakat, ternyata dalam sikap, tutur kata dan perilakunya sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia memang layak disebut dengan panggilan kehormatan. Tapi tulisan ini, tidak ada kaitannya dengan urusan politik. Penjelasan singkat tersebut diatas hanya sebagai background atau latar belakang mengapa tulisan ini dipostingkan untuk dibaca orang banyak.

Kata "marwah" seirama dengan kata "martabat" yang masih berada dalam satu bingkai dengan kehormatan atau kemuliaan diri, yang etisnya bukan kita yang menyebutkan atau menyuruh orang untuk memanggil kita dengan  panggilan kehormatan tersebut, melainkan diberikan kepada kita sebagai rasa hormat dari orang lain.

Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat, kita juga mengalami dan menemukan panggilan kehormatan tersebut. Perlu kita menyikapi secara arif agar sebutan kehormatan yang di berikan kepada kita sebagai rasa hormat dari orang lain dan jangan sampai kehilangan marwahnya.

Menyandang panggilan kehormatan, sesungguhnya sekaligus memikul tanggung jawab moral agar sikap, tutur kata dan perilaku kita disesuaikan dengan makna yang tersirat dalam sebutan tersebut. Panggilan kehormatan tidak musti dengan" Yang Mulia" atau "Yang Dipertuan", melainkan bisa dalam kosa kata yang sangat biasa namun dipanggilkan kepada kita, misalnya panggilan Ayahanda= atau Bunda, Opa  atau  Oma.

Ketika saya dipanggil dengan sebutan Ayahanda atau Opa maupun Papa, walaupun yang memanggil saya secara biologi sama sekali tidak ada pertalian darah, tetapi bagi saya pribadi sudah menjadi alaram. Ketika saya berhadapan dengan sosok orang yang memanggil dengan salah satu sebutan tersebut, maka dalam pikiran dan hati saya sudah harus mampu menempatkan diri sebagai Ayahanda atau Opa. Dan bilamana yang memanggil saya adalah seorang wanita, maka  ketika saya bercanda di dunia maya ataupun di dunia nyata, maka candaan saya seharusnya adalah dalam kerangka bercanda antara seorang kakek dan cucu-cucunyaatau  antara seorang ayah dan anak anaknya.

Bilamana pikiran saya, sikap yang ditunjukkan baik dalam kata-kata maupun dalam perilaku saya keluar dari kerangka hubungan ayah dan anak atau hubungan antara kakek dan cucu-cucunya, maka pada saat itu, sebutan Ayahanda atau Opa maupun sebutan kehormatan diri lainnya sudah kehilangan marwahnya. Dalam pergertian yang lugas dan tegas, sejak perilaku yang saya kedepankan tidak mencerminkan akhlak saya sebagai Ayahanda atau Opa, maka saya tidak layak disebut dengan sebutan kehormatan tersebut.

Jauh Dari Ke pura puraan

"Pura pura" adalah baik bilamana dilakukan dalam konteks bercanda, misalnya pura-pura kaget, pura-pura menangis atau pura-pura akan jatuh karena tujuannya adalah menghibur atau setidaknya memecah kebekuan suasana pertemuan. Tapi hal ini dilakukan oleh orang yang memang profesinya sebagai pelawak. Walaupun mungkin saja, diri kita juga memiliki bakat pelawak yang tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan pelawak profesional, tapi tidak pada tempatnya,dalam suasana dimana kita dihargai dan dihormati,melakukan gerakan melucu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline