Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014

Inilah Novel Pertama yang Saya Baca Selama 74 Tahun

Diperbarui: 25 Oktober 2016   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto dijepret dari buku Novel : Pagi Gerimis

Selama kurun waktu hampir tujuh puluh empat tahun,saya belum pernah membaca novel hingga selesai. Ada yang baru saya baca lembaran pertama,sudah saya letakkan kembali ke rak buku,untuk dijadikan pelengkap perpustakaan pribadi kami. Karena umumnya ,kontennya terlalu jauh melambung dan melampaui ambang batas kemampuan daya fiksi saya untuk meraihnya.

Ada juga novel yang tampaknya cukup bagus, tapi tidak ada kaitannya secara emosional dengan kehidupan yang pernah saya jalani.Sehingga hanya dibaca sekilas dan kemudian mengembalikannya ketempat dimana buku tersebut berdomisili selama ini,yakni dirak buku.

Baru kali ini saya membaca hingga selesai sebuah novel ,yang ditulis oleh seorang gadis imut imut. Oleh karena itu saya mencoba menuliskan  artikel ini,bukan sebagai sebuah resensi buku,karena jujur, walaupun saya kuliah di jurusan bahasa, tapi tidak paham bagaimana menulis resensi buku secara benar. Jadi tulisan ini semata mata,sebagai apresiasi dari saya selaku salah seorang pembaca novel :" PAGI  GERIMIS” Karya :”Nurhasanah “

nur-kompasiana-004-jpg-580f15c0119773db147453e6.jpg

Siapakah Nurhasanah Ini?

Gadis lulusan Fakultas Sastra dan merupakan Almuni  Universitas Pajajaran ini terkesan sangat irit dalam bertutur  kata. Belum pernah saya saksikan atau saya dengarkan tampil di pentas.Baik sebagai Penyanyi ,maupun sebagai Penari. Bahkan setahun saya,malah belum pernah tampil sebagai pembawa acara. Mungkin selaras dengan sifatnya yang pendiam dan terkesan serius.

Secara pribadi saya sudah sering ketemu. Pertemuan pertama kali adalah sewaktu Nur atau nama lengkapnya Nurhasanah ini, adalah ketika menghadiri Hari Ulang Tahun Pernikahan kami yang ke 50 ,di Hotel Jayakarta di Jakarta. Pada waktu itu saya mendapatkan hadiah buku ,yang dikemas dalam sebuah tas kecil . Didalam buku itu ada tulisan kecil,yang ditulis tangan oleh Nur .Isinya adalah ucapan Selamat bagi kami berdua . Kemudian menyusul beberapa kali pertemuan,bila ditotal ,tidak sampai sepuluh kalimat Nur bertutur kata dengan saya.

Tapi bukan lantaran rasa angkuh diri,melainkan Nur tidak ingin membuang waktu untuk berbicara sesuatu yang tidak ada relevansinya. (agaknya begitu ya mbak Nur). Kendati sangat pendiam,namun gadis yang bernama Nur,yang lahir di Tegal dan akan merayakan Ulang tahunya pada tanggal 6 November ini,adalah orang yang sangat menjaga perasaan orang lain. Buktinya,ketika kami berkunjung ke kantor dimana Nur bekerja dibidang tulis menulis,karena kesibukan ,Nur tidak dapat ikut berbicara ramai ramai,dengan teman teman sekantor lainnya. Tapi ketika kami pamitan dan turun kelantai dasar,ternyata Nur turun terburu buru dan menyempatkan untuk menyalami kami.

Hal yang tampaknya kecil dan sepele,namun bagi kami berdua, sungguh merupakan sebuah apresiasi dari seorang anak muda ,kepada kami berdua yang merupakan generasi senior. Sesuatu yang sudah lama hilang dari kalangan anak anak muda.Walaupun bukan tipe orang yang gila hormat,tapi setiap orang pasti sangat senang, bila mendapatkan sambutan hangat,termasuk kami berdua.

Esensial Karyanya Sangat Mengakar

Esensial karya tulis Nurhasanah ,yang berjudul Pagi Gerimis ini,sungguh sungguh sangat terasa menyentuh dan mengakar kepada kehidupan orang banyak.Khususnya,bagi yang pernah merasakan hidup dikampung atau diperdesaan. Khususnya bagi saya pribadi,bahkan kisah kisah hidup yang di tulis begitu piawai,sehingga mampu menghipnotis pembacanya, walaupun ditulis dijaman berbeda ,alam yang berbeda dan budaya yang tidak sama, namun sebagian besar adalah kehidupan nyata yang pernah kami jalani selama bertahun tahun.

Contohnya adalah ketika Nur berkisah ,tentang sepiring nasi. Yang begitu pentingnya nilai sepiring nasi di desa,sehingga mampu mendekatkan atau bahkan bisa menjauhkan sebuah persahabatan dan hubungan bertetangga. Dan bukan lantaran orang kampung tidak peduli tentang hubungan bertetangga,tapi kehidupan yang keras,telah  membentuk kepribadian mereka,bahwa siapa yang  mau makan,harus mau bekerja keras. Kesimpulan ini, terbentuk dari alam pikiran saya, karena saya pernah mengalami hal seperti ini,yakni nama saya dicoret dari daftar undangan,Karena orang yang empunya helatan, tidak mau saya datang untuk menghabiskan makanan,sedangkan disisi lain,saya tidak mungkin bisa memberikan kado. Jadi kesimpulan terlahir dari kenangan pahit hidup yang pernah kami alami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline