'Pukek' atau pukat adalah cara menjala ikan tradisional yang sudah ada sejak tempo dulu. Masih dijaga kelestariannya oleh warga Kota Padang yang berdomisili di sekitar pantai Padang Pantai yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia ini menyimpan sejuta kisah hidup anak anak nelayan yang mungkin tidak banyak orang yang tahu.
Caranya adalah dengan membawa pukat ke laut yang dalam dengan perahu dan kemudian kembali ke pantai dengan membawa tali panjang yang berhubungan dengan pukat tersebut. Mereka sabar menanti sambil melepaskan lelah dengan duduk di bebatuan besar yang dijadikan sarana untuk membentengi pantai dari erosi keganasan ombak.
Tidak banyak lagi yang mampu bertahan hidup hanya dengan menggantungkan nasib mereka sekeluarga pada cuaca. Kalau hujan dan badai berhari-hari dan bahkan berminggu-minggu, maka mereka harus mampu bertahan hidup dengan apa yang ada.
"Kami ala biaso iduik dilamun ombak," (kami sudah biasa hidup menderita) kata Pak Udin yang kelihatan paling tua di antara mereka. Bagi mereka, hidup itu tak ubahnya bagaikan gelombang air laut yang sesaat melambung untuk sesaat kemudian terempas lagi di tepi pantai.
Wacana Mau Dijadikan Objek Wisata
Belakangan sangat santer terdengar bahwa ada wacana untuk menjadikan cara 'mamukek' ini sebagai bagian dari daya tarik wisata. Namun hingga kini, baru hanya sebatas wacana saja. Salah satu nelayan yang tampak sedang menarik pukat yang ditanyai tentang rencana untuk menjadikan ritual mamukek ini, menjawab, ”Bukan itu yang kami butuhkan, Pak. Yang kami harapkan sesungguhnya adalah agar pemerintah daerah membantu kami dengan jalan mengeruk dasar laut tempat kami mencari nafkah." Karena hal ini sudah lama menjadi impian mereka. Selama ini, kendala yang paling sering mereka temui, di samping kondisi alam yang tidak menentu adalah tersangkutnya pukat mereka, sehingga putus dan rusak. Butuh waktu berhari hari untuk membenahinya dan ini berarti mereka tidak dapat mencari nafkah untuk sementara.
Mereka hidup berkelompok dan hubungan ini sudah terjalin sejak kakek mereka turun temurun. Memang kabarnya ada koperasi, tapi mereka sama sekali tidak tertarik untuk bergabung dengan koperasi, yang menurut mereka hanya menambah beban hidup mereka saja.
Kesimpulannnya adalah dari pada pemerintah gembar-gembor untuk mengadakan wisata 'Elo Pukek', alangkah baiknya terlebih dulu mengangkat sampah-sampah yang menumpuk di laut, di mana mereka menggantungkan hidup untuk keluarganya.
Memotret 'Rumah' para Nelayan
Untuk menengok secara langung kediaman para nelayan tradisional ini, maka kami diantarkan oleh sahabat kami Alqaf Dharman menelusuri jalanan sempit dan penuh genangan air. Menengok langsung tempat mereka tinggal yang sesungguhnya tidak layak disebut rumah, maka tidak akan tega kita menawar nawar lagi kalau akan membeli ikan yang dijual para nelayan ini.
Dikelilingi oleh luang lubang yang penuh dengan genangan air, tentu saja bukan merupakan tempat yang layak dihuni. Tapi kisah ini rasanya sudah seusia legenda Si Malin Kundang ataupun Siti Nurbaya yang belum tersentuh oleh pemerintah.
Satu-satunya rumah makan yang tampak ada di sana hanya menunggu waktu saja untuk terseret oleh ganasnya ombak pantai Padang bila tidak ada tindakan nyata dari pemerintah, karena sebagian besar ruas tanah di sana sudah ambruk, seperti tampak pada gambar.
Pada dinding rumah makan ada tergantung pengumuman tentang pajak Rumah Makan. Berarti bangunan ini pasti bukanlah termasuk bangunan liar, karena membayar pajak pada pemerintah setempat.
Kapan Pak Jokowi Berkunjung ke Padang Lagi? Boleh Sesekali Berkunjung ke Sini
Tempat-tempat seperti ini, agaknya terluput dari kunjungan Presiden RI Joko Widodo. Mungkin sekali waktu, bila Pak Jokowi datang lagi menyempatkan diri untuk menengok kondisi kehidupan mereka secara langsung.