Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014

Sebuah Kritik Diri

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1430623750438217978

[caption id="attachment_381493" align="aligncenter" width="545" caption="di pasar kumuh Tanah Kongsi ini dulu kami tinggal /doc,pri"][/caption]

Pagi ini,sambil menghirup secangkir cappuccino hangat yang disediakan oleh istri saya Lina, saya duduk didepan jendela kamar. Membaca sebuah artikel yang berjudul. :”Semakin Banyak Orang Memilih untuk Tidak Beragama. Mengapa?”

Secara serta merta rasa kesalehan diri saya mencuat kepermukaan dan ada suara dalam pikiran saya yang ingin mengatakan:” Nggak beragama? Berarti Atheis dong. Atau mungkin komunis? Atau ini yang disebut sebagai orang kafir?”

Namun suara hati nurani saya menegur:” Hai Tjipta, sejak kapan Tuhan mengangkat kamu jadi hakim untuk memvonis orang lain? Atau kamu punya SK dari Tuhan?”

Pikiran saya tersentak dan diam. Tapi ketika kecerdasan tidak dapat menguasai situasi,maka akal bulus dan licik ,tampil menjadi pembela. “ Lha, orang yang terang terangan mengaku tidak punya agama, apabukan kafir namanya? Kalau orang sudah skeptis terhadap agama, apa bukan komunis?”

Begitulah dalam diri saya terjadi perperangan. Pikiran saya yang mendewakan, seolah saya ini orang saleh, paling benar di dunia, paling dekat dengan Tuhan,bahkan sudah memiliki, beberapa kapling tempat di surga,berhadapan dengan hati nurani saya yang lebih banyak diam.

Kritik Diri

Setelah nurani saya menguasai keadaan, maka pikiran waras saya kembali mengambil posisi,yang tadinya sudah dikuasai rasa egoisme ,yang mencoba menutupi,bahwa sesungguhnya, saya pernah termasuk kelompok orang yang memilih untuk tidak lagi beragama. Penyebabnya adalah:

Ketika hidup kami sedang terpuruk ,istri dan anak sakit, saya mencoba mendatangi salah seorang yang “seiman” dengan saya, yang di gereja dikenal sangat dermawan. Yang setiap kali memberikan derma, setara dengan biaya hidup kami tiga beranak ,selama sebulan.

Maksud hati untuk meminjam uang dan akan dikembalikan bila istri sudah gajian sebagai guru. Namun jawaban yang kami terima adalah :” Maaf, saya butuh banyak dana, untuk membangun rumah Tuhan.Jadi saya tidak bisa meminjamkan uang kepada anda”

Saya terluka. Keyakinan terhadap tipe “orang beragama” mulai luntur. Namun saya hanya mampu mengurut dada.Ternyata Tuhan itu miskin, sehingga perlu dibantu orang kaya.Bahkan Tuhan lebih miskin dari pada kami,sehingga perlu dibantu terlebih dulu.

Jangan Pernah Bertamu di Rumah Orang Kaya

Saya datangi seorang tokoh agama ,yang lainnya, yang juga :” seiman”..Tokoh ini senantiasa tampil memukau. Kehadirannya di rumah ibadah merupakan berkah, tak salah bila setiap kali berkunjung, selalu di kerumuni banyak orang.Maklum pengusaha sukses dan sangat dekat dengan para pejabat tinggi,

Ketika pintu pagarnya saya bel ,yang keluar adalah anjing galaknya,yang ribut menggonggong, Mungkin tidak suka orang miskin datang mengganggu tuannya. Karena cukup lama anjing menyalak,maka pembantunya keluar dan tidak merasa perlu bertanya apa maksud kedatangan saya,terus berucap:” Maaf,tuan lagi tidur siang ,tidak boleh diganggu”

Datang Lagi

Saya tahu diri dan pulang. Sorenya saya datang kembali. Tuan rumah ternyata ada sedang duduk santai diteras rumah yang mewah. Menengok saya datang, terus setengah berteriak menanyakan :” Ada apa?”

“Maaf pak,apa boleh saya masuk? Karena ada sesuatu yang ingin saya bicarakan”

“ Aduh..saya sedang menunggu tamu penting,Jadi maaf, tidak bisa menerima anda. Lain kali saja datang ya” . Kata Tuan rumah ,sambil sibuk menelpon

Hati saya terluka amat dalam. membayangkan bakalan dapat meminjam uang untuk biaya berobat anak dan istri, pada saudara seiman dan se suku.ternyata terhempas dan tersungkur.Saya pulang dengan hati yang perih. Bahkan terniat dalam hati, untuk tidak mau beragama lagi,karena gambaran tentang orang beragama ternyata salah total.

Melamun yaa?

Tiba tiba lamunan saya terputus, karena ada yang memegang pundak saya dengan lembut dan berkata :” Hmm Sedang melamun yaaa? Siapa lagi kalau bukan istri tercinta saya Lina.

Saya tersadar dari lamunan dan kritik diri yang berkepangjangan. Senantiasa saya ingat ,agar jangan sampai prilaku dan sikap saya ,menyebabkan orang lain,,memiih untuk tidak beragama. Seperti yang hampir saja saya lakukan dalam hidup saya.

Tulisan ini tidak bermaksud mengritik siapapun,melainkan merupakan kritik diri, agar saya senantias mawas diri,bahwa saya bukan orang saleh ,yang tanpa salah.Karena saya terlahir dalam keluarga miskin dan pernah 7 tahun hidup melarat, maka saya tidak segan segan memeluk orang miskin, karena saya memang berasal dari sana.

Semoga tulisan, kritik diri ini, ada manfaatnya untuk dibaca.

Mount Saint Thomas, 3 Mei, 2015

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline