Lihat ke Halaman Asli

TJIPTADINATA EFFENDI

TERVERIFIKASI

Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Pengungsi yang Sukses di Negeri Orang

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14020618101899725960

[caption id="attachment_327744" align="aligncenter" width="491" caption="doc.pri."][/caption]

Kisah Pengungsi yang Sukses di Negeri Orang

Pendahuluan

Perang ,dengan alasan apapun , selalu memberikan dampak buruk bagi umat manusia. Namun manusia dengan segala kemampuan berpikir yang menakjubkan, tetap saja berperang dari masa ke masa.Perang berarti merancang, merencanakan ,tahu dan mau,untuk menghancurkan manusia lainnya ,yang sesungguhnya adalah species yang sama. Mungkin satu satunya spicies di alam semesta ini yang secara sadar ,merencanakan untuk menghabisi spiciesnya sendiri. Kenyataan ini membuat kita berpikir:’ Apakah benar manusia adalah makluk ciptaan Tuhan yang paling mulia?” Mari kita bertanya kepada hati kita masing masing, disana pasti akan ada jawabannya.

Tiga anak Muda Eks Pengungsi Sukses di Australia

Teu Mung , 18 tahun, Abraham, 17 tahun dan Benedict, 16 tahun ,eks pengungsi dari 3 negara yang berbeda, telah membuktikan .bahwa penderitaan dan kecemasan, telah menumbuhkan mereka menjadi sosok sosok yang bermental baja . Pengalaman pahit dimasa lalu mendominasi hidup merekadan mereka mampu mengubahnya menjadi motivasi ,untuk mengubah nasib ,mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Hasil kerja keras mereka membuahkan hasil nyata.

Baru baru ini ,pada acara :” Gala Award Night” yang diselenggarakan di Town Hall ,pada tanggal 20 Mei yang baru lalu,nama nama mereka muncul sebagai Peraih Scholarships. Teu Mung dan Abraham mendapatkan :” Friends of Zainab Scholarships” .Sedangkan Benedict mendapatkan “Malala Yousafzai Scholarships”

Perang Memporak Porandakan Keluarga Mereka

Kisah kisahpedih dan perih dari perjalanan hidup ketiganya, kendati bukan merupakan satu satunya pengalaman mereka, namun tetap menarik dan disimak, setidaknya semakin memberikan pengertian kepada kita, arti dan makna dari sebuah kehidupan dan bagaimana perang memporak porandakan keluarga,bahkan menghancurkan masa depan jutaan anak anak sedunia.

Benedict meninggalkan Congo, tanah kelahirannya, setelah ayahnya tewas dalam kondisi Congo yang Chaos saat itu. Bersama dengan 6 orang saudaranya yanglain, dibawa lari ibunya Mrs.Jacky Kazadi ke Zimbabwe dan menumpang hidup dirumah bibinya , selama 7 tahun. Namun ternyata hidup di Zimbabwe juga tidak memberikan rasa aman dan naluri seorang ibu telah memacu keberaniannya untuk menyeberangi samudra ,menuju ke benua Australia.

Selama masa pendidikannya. Benedict tidak pernah membuang buang waktu dalam hidupnya. Disamping belajar dengan tekun, ia juga bekerja sebagai perawat, untuk membantu meringankan beban ibunda tercintanya,

Cita cita Benedict adalah menjadi seorang Physiotherapist.Saat ini Benedict masih terdaftar sebagai siswa di Keira High School, yang jaraknya hanya sekitar 20 menit berkendara darikota Wollongong.

Teu Mung ,18 tahun juga punya kisah sedih dan tak kurang menyedihkan dari kisah hidup dan pelarian Benedict. Kondisi keamaan di negeri asalnya Burma, telah memporak porandakan warga Burma ,termasuk salah satunya adalah keluarganya. Ia tidak tahu apa kesalahan orang tuanya, namun sejak perang saudara berkecamuk dinegerinya, kedua orang tuanya hilang tanpa jejak. Dan hal ini telah mendorongnya untuk melarikan diri dengan tujuan negeri Kanguru . Sebagai seorang eks pengungsi, Teu Mung tidak ingin meniru prilaku sebagian teman teman sebangsanya , yang menumpang hidup dinegeri orang dan kemudian bermalas malasan. Ia sudah bertekad, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada negeri yang sudah menampung dan memberikan tempat untuk ia merajut masa depan yang lebih baik. Teu Mung belajar dengan tekun dan penuh kesadaran, bahwa apa yang dilakukannya saat ini, adalah penentu masa depannya. Cita citanya adalah menjadi seorang Graphic Designer.

Sedangkan Abraham meninggalkan tanah kelahirannya Ethiopia, yang hampir sepanjang tahun dilanda kelaparan dan situasi keamanan yang tidak menentu. Ibunya meninggal ketika usianya masih 8 tahun.“Disini saya mendapatkan peluang untuk belajar dan meraih impian hidup saya” ,kata Abraham.Cita citanya adalah menjadi seorang dokter gigi.(sumber: Wollongong magazine/advertiser)

Catatan Penulis

Latar belakang kehidupan yang pahit getir, telah menempa ketiga remaja ini, sehingga dengan tekad membara,belajar dan bekerja keras, demi untuk mencapai masa depan yang cerah. Tentu saja semuanya tergantung dari sikap mental masing masing.

Mount SaintThomas 6 Juni ,2014

Tjiptadinata Effendi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline