[caption id="attachment_331984" align="aligncenter" width="420" caption="dikutip dari buku Cinta Indonesia Setengah Hati"][/caption]
Buku :” Cinta Indonesia Setengah Hati” Kritik Sosial Bagi Bangsa Indonesia
Membaca adalah salah satu jalan untuk meraih pencerahan diri...
Saya termasuk salah seorang yang beruntung, diantara 200 ribu Kompasianers yang tersebartidak hanya diberbagai pelosok tanah air, tetapi juga dipelosok pelosok dunia. Karena beberapa judul buku ,hadiah dari founder dan Pengelola Kompasiana : Pepih Nugraha, ada ditangan saya. Sebagai orang yang hobbi baca dan menulis, buku buku ini saya boyong ke negeri Kanguru ini.
Semua buku sudah selesai saya “lalap”,namun masih saya baca ulang, untuk lebih meresapi arti dan makna yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah buku:” Cinta Indonesia Setengah Hati”. Sebagai salah satu dari citizen journalist ,tentunya saya tidak merasa berhak untuk membahas isinya.melainkan sekedar menyampaikan rasa hati saya, bahwa sesungguhnya buku ini ,merupakan kritik sosial, tidak hanya bagi para Kompasianers, tetapi lebih luas lagi kritik untuk setiap orang yang merasa dirinya orang Indonesia. Terlepas dari warna paspor yang dipegangnnya. Karenapaspor hanyalah menunjukkan formalitas status, tetapi tidak menterjemahkan ungkapan hati dan jiwa pemegangnya.
Membaca buku ini , hingga berulang 2 atau 3 kali, sama sekali tidak menghadirkan kejenuhan hati, sebaliknya semakin menampilkan sisi-sisi kejujuran yang masih tersisa direlung-relung hati . Dan hati itu berkata:” Jangan Jangan ,saya termasuk orang yang mencintai Indonesia Setengah Hati!”
Bagi saya pribadi, membaca adalah salah satu jalan untuk meraih pencerahan diri.....
[caption id="attachment_331994" align="aligncenter" width="399" caption="buku Cinta Indonesia Setengah Hati - Kompasiana"]
[/caption]
Menyaksikan Orang Australia Menghargai Pahlawannya.
Bila ada waktu senggang, saya dan istri memanfaatkannya untuk saling berkunjung ke Senior Club ,yang banyak terdapat di hampir setiap kecamatan di New South Wales. Formalitasnya , ada uang iuran tiap tahun yang kami bayarkan sejumlah 3 atau 4 dollar per tahun, tetapi begitu selesai mendaftar dan mendapatkan Kartu Keanggotaan, kami diberikan semacam voucher untuk minum gratis .
Padahal secangkir capucino di café nilainya $.3,50 . Jadi sesungguhnyauang pendaftaran yang kami bayarkan hanyalah sebuah formalitas saja, karena sejak itu setiap Pemegang Kartu anggota .berhak untuk datang setiap saat. Duduk duduk ,sambil minum secangkir cappuccino secara gratis atau ikut bermain bingo , raffles ticket dan mendengarkan live music secara gratis.
Namun ada hal yang jauh lebih penting dan menarik ,selain dari fasilitas yang kami terima, yaknidi beberapa club yang didirikan sebagai kenangan untuk orang orang yang dinilai sudah berjasa bagi negara dan bangsa Australia, seperti Illawara Club dan Diggers Club.
Setiap sore ,sekitar jam 5.00 sore, seluruh kegiatan dihentikan . Musik, permainan, yang lagi makan dan minum ,semuanya berdiri dan menundukkan kepala. Saya mencoba melirik sekeliling ,luar biasa ,tak seorangpun yang berlaku cuek. Semua tanpa kecuali berdiri, meletakkan sendok garpu atau gelas yang lagi dipegang. Permainan bingo yang sedang berlangsung seru, semuanya dihentikan.
Tiap orang berdiri dengan hikmat dan menundukkan kepala.Sementara itu sebuah puisi dibacakan dengan hikmah:
They shall grow not old
as we that are left grow old
Age shall not weary them
nor the years condemn.
At the going down of the sun
and in the morning
We will remember them
and lest we forget
Terjemahan bebas
Mereka tidak akan bertambah tua
seperti kita yang masih tinggal
Usia tidak lagi menjamah
tahun tahun berlalu tanpa mampu menyentuh mereka
Ketika sangmentari mulai meredup
dan pagi kembali hadir
Kita akan selalu mengingat
dan tak akan melupakan mereka
Saya merinding . Tergiang kata kata Bung Karno.
“Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghormati Pahlawannya”
Menghormati ,bukanlah berarti cukup setahun sekali ,mengibarkan bendera setengah tiang, pada tanggal 11 November,tetapi lebih dari itu ,berusaha dalam dirikita masing masing untuk melanjutkan perjuangan mereka,demi untuk Indonesia yang lebih baik.
Hati saya tergetar ,menyaksikandi negara yang kita anggap negara sekuler, ternyata mereka mampu menghormati Pahlawannya dengan begitu hikmat. Bukan setahun sekali,tetapi setiap hari.
Saya terus merenung diri. Jangan jangan saya termasuk salah seorang yang mencintai Indonesia dengan setengah hati. Seperti yang tersirat dalam buku:” Cinta Indonesia Setengah HatI” ,hadiah dari Pak Pepih Nugraha.
"Indonesia tidak dapat dikatakan Indonesia ,jika hanya dilihat dan dinilai dengan cara yang sepenggal sepenggal.Karena Indonesia adalah sebuah kesatuan Jiwa,raga, moril dan spiritualisme penghuninya dari Sabang sampai Merauke ,yang terbungkus rapi dalam bingkai yang utuh:' ke -INDONESIA -an" (dikutip dari buku Cinta Indonesia Setengah Hati- Kompasiana)
Negeri Kanguru, 04 Juli,2014
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H