[caption id="attachment_337841" align="aligncenter" width="640" caption="doc.pri"][/caption]
Penganggur adalah Identik dengan Pemalas
“Sudah sebulan keliling, dari kantor ke kantor, tapi tidak dapat pekerjaan,” ini adalah kata-kata klise yang dari dulu hingga sekarang di-copy terus oleh para pencari kerja. Pulang ke rumah dengan wajah lesu, sensitif, dan emosionil, karena merasa segala jerih payahnya tidak ada hasilnya.
Akibatnya, sudah bisa diduga: pengangguran. Menyalahkan keadaan, kantor yang tidak menghargai ijazah, yang meng-interview nggak benar dan seterusnya. Semakin banyak seseorang menyalahkan keadaan atau mencari kambing hitam atas kegagalannya mendapatkan pekerjaan sesungguhnya hanya menunjukkan kebodohan dan kemalasan diri sendiri.
[caption id="attachment_337838" align="alignleft" width="640" caption="doc.pri"]
[/caption]
Apakah benar tidak ada pekerjaan di Indonesia?
Kalau mau open minded dan memahami bahwa ibarat mendaki gunung, orang selalu harus mengawali dari bawah maka tidak akan ada pengangguran di Indonesia. Pengangguran terjadi karena orang memilih pekerjaan yang sesuai dengan maunya. Di Jakarta, kami tinggal di salah satu apartemen di bilangan Kemayoran. Hanya beberapa ratus meter dari kediaman, kami sudah berjejer di pinggir jalan anak-anak muda yang lagi sibuk mencuci mobil.
[caption id="attachment_337834" align="alignleft" width="640" caption="doc.pri"]
[/caption]
Daripada masuk ke bengkel dan cuci mobil 60 ribuan, belum lagi menunggu giliran yang cukup lama, maka saya ikut berhenti dan parkir di sana karena mobil sudah kotor kena hujan. Belum turun dari mobil, seorang anak muda menghampiri, ”Selamat pagi Om, mau cuci mobil ya. Boleh, sekarang juga kami kerjakan.”
Saya dan istri turun dari kendaraan. Dipersilakan duduk di bangku bakso seadanya. Dan si pemuda dengan cekatan memanggil 2 lagi temannya secara gotong-royong mencuci kendaraan saya. Kelihatan sudah memiliki Job description, ada yang khusus mencuci bagian roda, yang satu lagi body kendaraan dan yang seorang lagi membersihkan bagian dalam kendaraan. Sambil tangannya sibuk menyabuni dan membersihkan kaca mobil, si pemuda memperkenalkan diri tanpa diminta. “Kami ini merantau Om dari Medan.” Tadinya tujuan mau kerja kantoran, tapi ternyata ijazah sarjana hukum saya tidak laku di sini heheh,” katanya sambil ketawa lepas.
“Tapi alhamdulilah Om. Tadinya saya kerja sama orang nyuci mobil, tapi sekarang sudah mandiri dan malah bisa rekrut teman-teman sekampung, daripada mereka jadi pengangguran di sini. Ada 6 orang anak buah saya. Oya, saya biasa dipanggil "Ucok", Om,” katanya dalam logat Batak yang kental
"Sudah dua tahun saya usaha ini dan alhamdulilah kredit motor sudah lunas, Om. Memang banyak teman yang mengejek aku, 'Hai Cok, jauh-jauh kau merantau, cuma jadi tukang cuci mobil?' Tapi saya tidak malu, Om. Bagi saya ini adalah landasan untuk dapat usaha yang lebih baik, yang penting halal ya, Om."
Sambil tangannya terus bekerja, si Ucok yang sangat antusias melakukan pekerjaannya kelihatan senang bisa bersahabat dengan siapa pun. Maka saya juga menimpali, ”Cok, berapa kamu dapat seharian dari cuci mobil ini?”
“Alhamdulilah Om, rata rata seharian kami dapat 75 ribuan. Sebagian kami simpan untuk tabungan pulang kampung. Modal cuma sabun, listrik, dan air. Kalau tiap minggu ada hari hujan, kami panen Om. Satu mobil 30 ribuan, seharian bisa 25 kendaraan yang kami cuci.”
Kalau ada teman teman dari kampung yang bilang nggak ada pekerjaan, saya bilang, ”Kamu itu pemalas. Hanya pemalas yang bilang di Jakarta nggak ada pekerjaan,” kata Ucok.
Hanya Pemalas yang bilang di Jakarta tidak ada Pekerjaan
Kalimat yang diucapkan dengan nada serius oleh seorang pemuda perantau dari tanah Batak di Sumatera Utara ini, cukup menyentak. Seorang Sarjana Hukum dan teman temannya 4 orang juga sarjana, yang dua lagi masih kuliah di tahun terakhir. Mereka bekerja cuci mobil. Pekerjaan rendahan? Siapa yang bilang! Si Ucok bangga dengan pekerjaannya, karena di samping dapat uang, ia sudah menjadi orang yang bermanfaat, setidaknya bagi 6 orang “anak buahnya” yang berasal dari Sumatera Utara. Setidaknya di Ucok ini sudah membantu menghindarkan tambahan 6 orang penganggur lagi di Jakarta.
30 menit mobil saya sudah bersih dan dilap. Di bagian kaki stir, masih dikasih koran bekas agar sepatu saya yang agak basah kena air tidak meninggalkan bekas di mobil. Saya berikan selembar uang dan mengatakan, ”Ucok, kami juga dari Sumatera, nggak usah dikembalikan, simpan buat kamu makan siang ya.”
Ucok berteima kasih berulang kali sambil berucap, ”Kapan mobilnya kotor, datang lagi ya Om, Tante, kami menunggu di sini." Luar biasa si Ucok ini: hanya Pemalas yang mengatakan tidak ada kerja.
Catatan penulis:
Mungkin ungkapan spontan dari si Ucok ini mampu menyadarkan banyak orang yang selalu berkeluh kesah: tidak ada kerja. Sarjana jadi tukang cuci mobil? Kenapa tidak? Kalau hal ini dapat menjadi tempat berpijak, mendaki ke pekerjaan yang lebih baik.
Hidup adalah proses pembelajaran diri tanpa akhir, tidak harus belajar pada profesor, bisa juga dari si Ucok. Tukang cuci mobil di Kemayoran, bahwa hanya Pemalas yang mengatakan tidak ada pekerjaan.
Mount Saint Thomas, 13 Augustus ,2014
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H