Lihat ke Halaman Asli

Tjhen Tha

Speed, smart and smile

Ober Coi

Diperbarui: 11 Oktober 2017   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ober Coi"

Suhu udara siang itu mencapai minus dua drajad ketika kami mendarat di Masyad, Masyad kota kedua setelah Qom dalam rangkaian perjalanan ziarah ini, tiupan angin musim dingin menusuk telinga rombongan dari negeri tropis, kerinduan akan negeri khatulistiwa menerpa terlalu dini.

Sesampainya  di kamar hotel yang pertama kami cari bawaan temu lawak dan wedang jahe, upaya mengusir keterasingan cuaca dengan menghadirkan kehangatan negeri tropis. Akan tetapi kendala negri asing berbahasa parsi non arab dengan pemahaman inggris yang minim, apalagi dengan dialek melayu yang kami miliki, semakin mustahil untuk mendapatkan "seduhan air panas" yang diidamkan. Untung saja local guide kami masih disitu dan membantu translasinya -"Ober Coi" - katanya.

Dengan berbagai kendala bahasa room service membawakan satu termos air panas, siap untuk menyedu temu lawak dan wedang jahe, kami mulai menikmati winter di negeri asing dengan ala melayu.

Keesokan hari, sehabis ziarah sambil menunggu makan siang disiapkan di ruang makan, kami bermaksud meracik temulawak dan wedang jahe kembali. "Ober Coi" kata2 sakti ditampilkan lagi, "Ober Coi" please, tapi sayang ternyata magical words itu tidak menunjukan hasil, sang pelayan hanya menawarkan senyumannya dan sebuah jawaban yang tidak kami mengerti. Huuuhhh....apalah arti senyuman ketika itu tidak menawarkan apa2, - just useless - sepertinya.

Ketika makan siang baru saja dimulai, sang pelayan membawakan termos air panas kemeja kami dengan khas senyumnya. Ooohhh mungkin dia tadi mengatakan air sedang dipanaskan, dalam bahasa yang tidak kami mengerti. 

"Khailil mamnun....., ismi chie?"
"Morteza"
"wow"
 what a familiar name,,,Nama anak kami yang sama dengan nama morteza, ia pun tersenyum senang.
 "Sayeed" ia melanjutkan penjelasannya, bahwa nasabnya pun menyambung ke Nabi sawa.
 Terkesan ia begitu bangga dengan nasabnya terlihat dari senyumnya yang semakin tersunging malu.

Penampilan Morteza sedikit menarik untuk diamati selalu ramah dan percaya diri dan bangga akan pekerjaannya, serta lingkunganya. Tidak terbayang ada rasa rendah diri akan pekerjaannya sebagai pelayan restoran, apalagi jika dibandingkan nasabnya yang begitu mulia. Pemuda yang sangat menginspirasi.

Sejak kemarin "Smiling Morteza" melayani kami di ruang makan. Dari jauh juga terlihat ia berbicara dengan para tamu lain selain grup ziarah kami, sambil sesekali memandang ke arah kami, seakan sedang membicarakan orang2 asing yang berada di negeri asing. 

Para tetamu restoran yang berbicara denganya sering melemparkan senyum dan salam kepada kami, beberapa diantaranya menyapa dan menanyakan rangkaian dan tujuan ziarah kami. Menarik pada umumnya diantara mereka memperkenalkan dirinya dan memohonkan doa agar namanya disertakan pada saat kami menziarahi para Imam suci. 

Ternyata menjadi peziarah juga merupakan pengalaman yang istimewa karena mendapat sambutan hangat dari penduduk lokal dan selalu diistimewakan walaupun berada dinegeri asing, - feeling so homely. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline